3rd Floor

1.1K 196 45
                                    

BERAPA LAMA waktu yang berlalu sejak Raka menginjakkan kakinya di Floor? Tiga jam? Lima jam? Mengingat perjalanannya yang dimulai setelah senja, ia tak heran jika sekarang sudah tengah malam. Selain kegelapan, hal yang ia tangkap melalui matanyanya hanyalah lorong bagaikan labirin dan pendaran cahaya biru yang berasal dari azuline. Tak bisa dipungkiri pula bahwa suhu sekitarnya pun menurun. Jaket yang ia kenakan tak lagi cukup untuk menghadang dingin. Pantas saja Nova mengenakan mantel setebal itu saat Raka melihatnya untuk pertama kali.

Rokoknya berdesis ketika Raka mengisapnya, menimbulkan pendar kemerahan yang langsung hilang karena abu. Entah sudah berapa batang rokok yang ia hisap setelah terpisah dari Nova. Ia pun sudah tidak mau melihat lagi ke dalam kotaknya karena mungkin, tanpa disadari, persediaan nikotinnya sudah habis.

"Sialan...," umpat Raka sembari menengadah, meniupkan asap dari hidung.

Ia lelah dan mengantuk. Belum lagi keningnya berdenyut nyeri. Beberapa tahun silam, Raka sudah biasa untuk tidur di manapun karena kegiatan ospek yang sering dilakukan hingga dini hari, tetapi kali ini berbeda. Bukannya ia takut dengan bahaya yang akan timbul nantinya namun tidak lucu jika ia mati karena tertidur di salah tempat.

Apa tiga peraturan dasar ketika berada di sini? Raka mencoba mengingat.

Ia menghitung dengan jarinya, "Hindari cahaya biru, pagna sama dengan lari, jangan lihat ke belakang. Ha! Hebat, mungkin tidak lama lagi aku bakal berhadapan dengan makhluk yang disebut pagna itu."

Raka sudah tidak begitu peduli dengan petuah semacam 'hati-hati dengan apa yang kamu harapkan'. Melihat realita, kemungkinan terburuknya ya, ia mati. Mungkin pikiran itu akan mengabulkannya menjadi sebuah nasib sial dan Raka sudah tidak peduli lagi.

Hari itu sudah buruk. Menambah satu-dua hal lagi dalam daftar kemalangannya mungkin dapat menghadiahinya mobil baru. Ha, mobil apa? Mobil menuju surga? Raka menggelengkan kepala. Pemuda itu kembali mengisap rokoknya dan kembali berjalan. Sejak ia membenturkan kepalanya ke dinding, suara-suara sinting itu tidak lagi memenuhi pikirannya. Raka tidak tahu apakah hal ini disebabkan oleh hantaman di kepalanya atau memilih jalan jauh dari gerombolan azuline. Meskipun begitu, terkadang ia masih mendengar suara perempuan yang terdengar akrab itu.

"Kenapa kau bisa tahu namaku, wahai seseorang yang bersuara di dalam kepala?" tanya Raka ke udara kosong. Tak ada sahutan. "Kenapa ketika aku membutuhkan suara-suara, kau malah hilang sih?"

Tak ada jawaban.

Entah sudah seberapa jauh jarak yang ia lampaui setelah kembali menjelajahi lorong itu. Jumlah azuline tidaklah sebanyak saat ia tersesat pertama kali, hanya saja jumlahnya tak lebih sedikit dari saat Nova masih bersamanya. Pemuda itu menyipitkan mata ketika sekitar sepuluh meter di depannya, tampak siluet seekor gajah.

Gajah? Raka mengucek mata. Ini pasti disebabkan kantuk yang merajainya. Jika memang siluet itu gajah, tidak ada kaki-kaki bengkak yang menompang tubuh besarnya, tidak ada pula telinga lebar yang menggelapar, dan belalai gajah tidaklah sebesar kepalanya. Raka mengerjapkan matanya lagi. Gajah 'kan? Ah, ini pasti halusinasi karena tubuhnya yang letih.

Ia memutuskan untuk kembali duduk —membaringkan tubuh malah— dan memejamkan mata.

Mengayuh sekuat tenaga, Raka tidak tahu tujuan akhir ia menggunakan sepeda. Dalam mimpinya, jalanan yang ia lalui tampak datar sementara teman-teman yang ia lewati memandangnya menjauh dengan tatapan kosong: Iyas, Duta, Akbar, dan Cecil. Lanskap kampus yang begitu merekat dalam memorinya berangsur-angsur buyar berubah menjadi mozaik yang terbang ke udara, meninggalkannya di dalam sebuah ruang seputih kertas tanpa noda setitik pun.

Pemuda itu hendak meraih pecahan mozaik yang melayang ke langit, tetapi kayuhan sepedanya tak kunjung melambat. Jalanan itu tak lagi datar, turunan yang tak kasat mata mempercepat laju sepedanya. Kepalanya tertahan ketika ia hendak menoleh ke belakang; terdengar seruan serak Cyrus memekakkan telinga, "Jangan tengok ke belakang!"

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now