17th Floor

613 102 24
                                    

UBIN HITAM-PUTIH, dinding gelap bersekat, dan sofa hitam menyambut mereka ketika memasuki studio tato itu. Suara lonceng tidak menutupi dengung mesin perajah yang berkumandang di seluruh ruangan berukuran tak lebih dari 5x3 m itu. Pigura-pigura tersusun rapi pada dinding di belakang sofa, berisikan ragam sketsa dan model rajah yang siap pelanggan pilih dan pindahkan ke tubuh mereka. Di pojokan yang sama, rak majalah terpasang di dinding untuk menghibur pelanggan yang menunggu; dari majalah mengenai otomotif, fesyen, hingga surat kabar yang sudah kusut halamannya.

Tak jauh dari sana, terparkirlah sebuah motor yang sama besarnya dengan Dolores dan berwarna merah mengilap. Saking gagahnya terpajang, pengunjung yang datang akan enggan menyentuh motor besar itu. Luke, tanpa berpikir dua kali langsung mendekati motor itu; meninggalkan Nova dalam kebingungan.

Seorang perempuan duduk di atas sofa, membaca majalah fesyen. Mata perempuan itu mengamati Nova dan Luke dari atas ke bawah seolah-olah mereka datang ke tempat yang salah.

"Kau tampak terlalu muda untuk menato tubuhmu," katanya, memerhatikan penampilan Nova. Perempuan berpakaian cukup terbuka. Di dadanya tampak sebuah tato menggambarkan hati dengan ukiran yang rumit dan sebuah aksara di bagian bawah tulang selangka. Bibir tipisnya diberi gincu merah terang, mengulaskan senyum tipis.

"Ya, aku tahu," balas Nova singkat.

"Berandalan, ya? Aku pernah di posisimu dulu. Orang tuaku marah sekali ketika aku merajah tubuhku untuk pertama kali," ia menunjukkan bagian dalam tangan kanannya. Guratan berbentuk wajah serigala berwarna hitam terpampang di sana, "Tapi aku tidak pernah menyesal."

"Kenapa?"

"Ketika seekor serigala hidup seorang diri, dia akan selamat. Akan tetapi, ketika dia menemukan kawanannya, dia akan semakin kuat. Aku menemukan kawananku."

Tepat setelah perempuan itu mengakhiri perkataannya, dengung jarum rajah pun berhenti. Tak lama, seorang pria keluar sambil menutupi lengannya dan berterima kasih pada si seniman tato itu. Lonceng berbunyi, pintu tertutup, dan seorang perempuan muncul dari balik sekat.

Bingkai kaca mata yang ia kenakan mempertegas wajahnya yang lancip. Rambut lurus hitamnya dipotong sebahu, tampak mengembang dan kering. Lipstik berwarna gelap memberikan kesan kulitnya yang putih semakin pucat sementara kaos tanpa lengan menunjukkan tato rumit di tangan kanannya, sebuah aksara di bagian dada dan tulang selangka. Ia tersenyum, meminta perempuan yang tengah menunggu untuk masuk ke ruangan. Wanita itu melihat Nova dan Luke bergantian.

"Gagah 'kan?" tanya perempuan itu, menghampiri Luke.

"Lebih gagah kepunyaanku," ujar Luke, memeriksa knalpot besi yang tampak mengilap, "Kau namakan apa dia?

"Ra-ha-si-a. Jadi kau mau ditato?"

Menggeleng, Luke tidak mengalihkan pandangannya dari motor, "Bukan aku" ucapnya lalu mengedikkan dagu pada Nova, "dia."

"Kali pertama?" perempuan itu menelengkan kepalanya. Suaranya terdengar sedikit serak untuk ukuran seorang perempuan.

"Bukan," jawab Nova jujur, "sebetulnya aku ingin menanyakan tentang tatoku."

"Tatomu?" ulang wanita itu. Pandangannya beralih pada sekat di mana dia bekerja lalu berkata, "Kau tidak apa-apa jika menunggu? Rekanku belum datang dan aku tidak bisa meninggalkan pelangganku menunggu."

Menghela napas, dengan berat hati gadis itu mengiyakan. Nova kembali duduk, mengamati petak ubin yang semakin lama membuatnya semakin sakit kepala. Ia memejamkan mata, merekonstruksi kejadian tiga tahun silam ketika Flint membawa Nova ke tempat ini. Sayangnya, ia hanya mengingat rasa sakit yang membuatnya menangis. Ia tidak ingat apakah lantainya menggunakan ubin hitam putih seperti ini dan ada berapa banyak gambar tato yang tertempel di dinding. Satu hal yang pasti, seniman yang merajah tubuhnya adalah seorang pria.

Down There Is What You Called Floor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang