12th Floor

729 118 52
                                    

"Sekarang sudah waktunya kita bertindak, Shen!" sanggah wanita yang tengah berdebat dengan lawan bicaranya.

Indhi dan Raka menunggu di balik pintu; gadis itu ragu mengetuk. Mereka terlihat seperti sepasang adik-kakak yang tengah menguping kedua orang tuanya bertengkar di tengah malam. Hertz, di sisi lain mengatupkan giginya. Ia sama segannya dengan Indhi mendengar kondisi di ruangan yang memanas.

"Bertindak apa? Kami membangun kehidupan di sini, Kirana. Perjuangan ini akhirnya terbayarkan. Kau tidak bisa menolong semua orang!"

"Kau bilang ini kehidupan?" suara Kirana meninggi, "Setiap hari orang-orangmu meninggal, Shen. Mereka tidak bisa melawan kehampaan pada dirinya begitu lama!"

"Dan kau pikir dengan rencanamu mereka akan lebih baik?!" suara pria itu tak kalah tingginya dengan Kirana, "Kau mau aku membuang nyawa penduduk Haven demi hal utopis yang takkan pernah terjadi?"

"Hal itu akan terjadi," Kirana bersikeras, "Apakah kau tidak mau kembali ke tempat asalmu, Shen? Kau dan juga keluarga, berkumpul bersama setelah sekian lama?"

Pria itu menghela napas frustasi, "Tentu saja! Aku punya istri dan juga anak, tapi kita tidak bisa kembali, Kirana! Tidak bisa. Tidak ada solusi yang lebih tepat selain memulai hidup baru."

"Kami punya cara lain!" Kirana bersikukuh, mengakhiri perdebatan. "Aku akan mengubah pikiranmu, lihat saja."

Langkah kaki wanita itu terdengar semakin nyaring mendekati pintu seiring waktu berlalu mengakhiri pembicaraan itu. Cepat-cepat Raka dan Indhi berdiri, mencari posisi sedemikian rupa yang tidak terlihat canggung. Mereka bersandar pada dinding di samping pintu, sementara Hertz menggelengkan kepala sembari memijit batang hidungnya yang mancung.

Wajah wanita itu tampak kusut setelah keluar dari ruangan, mengangguk kecil pada Hertz dan menatap sekilas kedua pengunjung lainnya. Rambutnya yang bergelombang dikuncir kuda, alisnya pun tampak tertekuk. Melihatnya, seperti melihat Nova di usia yang akan datang —kecuali kerung di wajahnya.

Saat masih mengamati perempuan itu keluar dari bangunan yang Hertz sebut sebagai kantor walikota, ia tidak sadar bahwa Hertz telah memberikan pengantar pada Shen. Pria itu menyuruh mereka untuk menghadap sang wali kota. Shen tampak lelah. Ia duduk di balik meja, di atas kursi putar sambil memijat pelipisnya. Kemeja putihnya kusut, lengannya digulung hingga sikut. Ia tersenyum lemah ketika Indhira dan Raka masuk ke dalam ruangan.

Di samping keseluruhan bangunan yang terbuat dari kayu, kantor itu seperti kantor pada umumnya. Sebuah meja besar berisi tumpukan dokumen, terlihat berantakan dan tak bisa dibedakan mana dokumen yang masih diperlukan dan yang sudah tak terpakai. Mug berwarna biru gelap tak lagi mengepulkan uap, ampas kopi pun terlihat di bagian bibir mug itu. Pada sisi kiri dinding menggantung lukisan berukuran lebih dari satu meter, sebuah ladang rerumputan bergaya realis. Sekilas, Raka mengiranya sebagai jendela, hingga sadar bahwa langit di gambar itu terlalu biru, tidak kelabu seperti yang ia lihat di luar.

Shen yang bermata almond, tak langsung berbicara ketika ia telah mempersilakan Raka dan Indhi duduk, sementara Hertz ke luar ruangan. Di belakang tempat duduknya adalah papan tulis yang penuh dengan catatan, beberapa foto orang dan juga sebuah lembaran buron yang memasang wajah Nova. Raka memicingkan mata.

"Apa kau tahu apa yang diinginkan Raktah Sol, Indhi?" Nama itu terdengar asing di telinga Raka.

"Aku baru mendengarnya sekarang," ucap Indhira.

Shen menghela napas panjang lagi. Rasanya setiap kali ia mendesah, alih-alih menghilang, beban di Pundak sang wali kota bertambah. " Mereka tidak lagi rumor," gumam Shen frustasi. Ia menambahkan, "Dee atau Kei tidak datang hari ini?"

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now