21st Floor

517 89 30
                                    

LANGKAH KAKI Nova terasa berat, kepalanya kalang-kabut. Imaji orang-orang bertopeng gas itu meninggalkan jejak buruk di sudut memori. Beberapa kali jalannya tersandung-sandung. Selama dua minggu terakhir sejak kepalanya berhadiah, selain perutnya yang terluka karena tertutusuk, ini baru kali pertamanya gadis itu nyaris tertangkap. Ceroboh sekali menganggap bisa memercayai Mama Lola hanya karena ia kenal dengan Ravi. Seharusnya ia bisa berpikir lebih jauh daripada itu.

Nova berlari dan terus berlari, tak tahu persimpangan mana yang telah ia ambil, tak tahu pula sejauh mana orang-orang bertopeng gas itu telah mengejarnya. Detak jantung Nova rasanya terdengar hingga telinga, tarikan napasnya terlalu cepat sampai-sampai tak tedengar Luke berucap. Terhuyung, pandangannya di tengah kegelapan Ratways tampak kabur. Luke memanggil namanya lagi, tetapi hal itu bagaikan angin lalu. Napasnya terengah, pandangannya buram, kakinya terasa kebas. Terbesit omongan orang-orang yang membebani pikirannya; dari Ravi, Luke, ibunya, hingga Raka.

Kepanikan menyerang. Dada gadis itu terasa sesak, pandangannya yang kabur membuat Nova oleng. Dengan sigap Luke meraih tangan Nova tepat di bagian sikut, mencegah gadis itu jatuh. Wajah Nova yang memucat membuat pria botak itu memasang raut lebih serius dari biasanya.

Keringat dingin Nova bercucuran dari dahi. Mengalungkan tangan gadis itu di pundaknya, Luke membopong gadis itu bagaikan tuan putri.

"Turunkan aku," pinta Nova. Gadis itu mencengkram kaos yang Luke kenakan.

"Berisik," Luke melepas cengkraman gadis itu dan membenarkan posisinya, "Atur napas dan diam saja."

Gadis itu siap membantah namun terlalu lemah untuk mengeluarkan suara. Napasnya pendek-pendek, lidahnya pun terasa kelu. Nova memejamkan mata, mencoba mengatur jalur oksigen menuju paru-parunya, tetapi segala kecemasan kembali lagi ke dalam pikiran.

Segala aspek yang menambah bumbu kecemasan membuat Nova benar-benar panik. Ada perasaan di mana dirinya merasa tak bisa apa-apa. Hanya karena ia percaya, ia bisa tertangkap, dan jika ia tertangkap, ia tidak tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Orang-orang bermasker gas itu mungkin akan membawanya ke Orenda, mengintrogasinya, menanyakan keberadaan Flint yang Nova sendiri sama sekali tidak ketahui. Mungkin juga mereka menanyakan keberadaan ibunya yang telah raib. Ia pasti dikira membual, punggungnya yang mempunyai banyak informasi mungkin akan dikuliti. Ia akan menjadi korban dari hal-hal yang tidak ia pahami.

Menarik napas lagi, Nova mendesis, "Turunkan aku," katanya.

"Enggak. Kita harus tetap bergerak," Luke bersikukuh memenuhi permintaan Nova "Dengan kondisimu yang seperti ini dan orang-orang sialan itu masih mengikuti kita dari belakang, kita pasti akan tertangkap."

Tarikan napas Nova semakin dalam, semakin cepat ia ingin mengontrol emosinya lagi. Intonasi suaranya meninggi, "Turunkan aku; aku bisa jalan!" Nova mencengkram kaos yang Luke kenakan semakin erat dan napasnya tercekat.

Luke menatapnya dari atas, membopong Nova dengan kerutan di dahi. Terengah, gadis itu memukul si pria botak untuk menurunkannya, "Kumohon."

Luke menunggu, menjaga jarak dari Nova sementara gadis itu menenangkan dirinya. Nova mengangkat tangannya agar pria itu tidak terlalu dekat dengannya. Memeluk tangannya sendiri, gadis itu duduk, tak peduli apabila jaket atau pakaiannya akan kotor; memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya bergetar lagi dan gadis itu tidak bisa berkonsentrasi untuk menghilangkan pikiran-pikirannya. Takut, kesal, dan kecewa akan dirinya sendiri; pikiran-pikiran itu kembali bersemayam dalam kepalanya.

Sentuhan di bahunya membuat Nova tersentak. Luke menatap gadis itu, tidak dengan lembut, tetapi tidak juga dengan amarah. "Mendingan?"

Nova menggeleng, "Aku...," bisiknya, "maaf aku—"

Down There Is What You Called Floor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang