Surface - 2

5.9K 604 99
                                    

PAK RUS BESERTA bapak paruh baya lain yang tengah bercengkrama sembari mengopi mengeluarkan suara heran serentak; tak terkeucali Raka. Raka kira ia salah dengar, tetapi kesungguhan dalam intonasi gadis itu membuyarkan spekulasi pemuda ini. Pak Rus membenarkan kopiahnya, menatap gadis itu dengan mata sayu yang penuh kebingungan sekaligus kengerian, "Neng kira ini tempat perdukunan, pakai jual jantung kucing segala?"

"Jantung ayam mah mungkin ada di pasar, tapi jantung kucing buat apa, Teh?" tanya seorang bapak-bapak berkaos tim sepak bola lokal yang duduk di samping Raka, "Kucing mah enggak dimakan!"

"Jadi salah tempat ya," gadis itu bergumam lebih ke dirinya sendiri. "Aku kira karena tempatnya gelap, maka menjual benda-benda seperti itu."

Raka mendengus, menahan tawa. Dapat pemikiran dari mana dia? Memang sih, pertama kali melewati tempat ini, Raka kira ini tempat yang terbengkalai. Tapi setelah ia menjelajah lebih jauh, tempat ini bagaikan timbunan harta karun. Melihat benda-benda mati yang tergeletak di sepanjang lorong semestinya bisa menggambarkan gadis itu dengan jelas bahwa tempat ini bukanlah sebuah pasar yang menjual jantung kucing, 'kan?

"Terimakasih, kalau begitu aku pergi dulu," ucapnya sekali lagi.

Sudah? Ia menanyakan jantung kucing kemudian pergi begitu saja? Raka tak bisa menahan dirinya untuk memanggil kembali gadis itu dan mengejarnya ketika dia melenggang acuh. Raka menenggak habis kopi hitam yang ia beli dan berpamitan pada sekumpulan bapak paruh baya itu.

Raka menyeringai ketika mendengar seorang pria —entah yang mana— bergumam singkat, "Duh, dasar anak muda. Sekalinya lihat yang cantik langsung pergi."

Gadis itu berhenti berjalan ketika Raka berhasil menggapai pergelangan tangannya. "Hey, untuk apa kamu mencari jantung kucing?"

Ia berbalik, mata cokelat terangnya menatap Raka jengkel. "Lepaskan tanganku."

Otomatis Raka meminta maaf dan mengangkat kedua tangannya seolah-olah ia ditangkap basah oleh polisi hendak menculik orang. Ia tampak lebih muda dua-tiga tahun dari Raka; tubuhnya relatif kurus dan kecil.

"Dan kamu tidak perlu tahu," imbuh gadis itu datar.

"Ya, memang saya tak perlu tahu, tapi saya penasaran," Raka mengikuti gadis itu yang terus berjalan ke luar, "kamu mau memakannya? Atau kamu menggunakan itu untuk jampi-jampi mungkin? Kamu enggak berasal dari sini 'kan? Di sini orang-orang tidak pernah menanyai tentang jantung kucing. Kalaupun kamu mau cari jantung kucing, mungkin kamu harus membunuhnya sendiri, hm? Tapi kucing itu menggemaskan, kamu enggak mau membunuhnya 'kan?"

Gadis itu berhenti berjalan dan kembali menatap Raka. Ia tersenyum sembari mengatakan, "Bukan urusanmu."

Ketika Raka hendak membuka mulutnya lagi, salah seorang pria paruh baya yang tadi duduk bersamanya memanggilnya dari belakang. Ia mengatakan bahwa sepeda Raka tertinggal, membuat pemuda itu menepuk jidatnya. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan benda krusial itu? Terpaksa, Raka harus mengambil sepedanya dan sebelum ia kembali ke kios sana, tatapannya bertemu dengan gadis itu lagi. Raka menyeringai sementara dia membalikkan badan, berjalan menjauh.

Meski hari sudah menjelang senja, pada akhirnya Raka kembali ke kampus. Tentu saja penghuni gedung tidaklah seramai siang hari. Sekelompok orang bercengkrama di pinggiran tangga. Raka tahu bahwa mereka adalah juniornya dan pemuda itu tidak berniat untuk menyapa mereka. Ia langsung menaiki tangga, menuju studio grafis yang terletak di lantai dua.

Studionya memiliki panjang lebih dari enam meter dengan langit-langit yang cukup tinggi untuk dibangun sebuah mezanin. Di area yang jauh dari pintu masuk terdapat beberapa sekat untuk membagi ruangan kerja dengan kesekretariatan. Raka melempar tasnya yang nyaris kosong ke atas meja kerja di tengah ruangan, mengejutkan tiga orang temannya yang tengah asyik menonton sesuatu, mendongak.

Down There Is What You Called Floor [END]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum