30th Floor

362 68 10
                                    

DERAP KAKI RAKA menggema di jalanan yang mulai sepi. Ia tidak peduli dengan segelintir orang memandangnya heran. Mungkin Raka sudah terlambat, mungkin juga tidak. Ia hanya mau memastikan apakah perkiraannya benar.

Jun masih hidup.

Jika ia beruntung, Jun mungkin masih berada di Giyarim. Jika yang dikatakan Nova benar, mereka akan bertemu di tempat apapun itu dengan sahabatnya sekarang. Mempercepat larinya, pemuda itu pun tiba di alun-alun kota.

Napasnya terengah, ia menyeka keringat yang menuruni kening. Kerumunan orang yang menyemuti area itu sudah tidak seramai tadi. Dua jam telah berlalu dan beberapa tenan sudah mulai menutup kios: kios tempatnya Jun membeli makanan tadi. Seorang perempuan di balik kios terkejut ketika Raka berlari ke arahnya seolah-olah hendak menerkam dan memakannya hidup-hidup.

"Maaf, kami mau tutup," perempuan itu tampak khawatir. Ia memegang tuas untuk menutup bagian depan kios dengan tangan gemetaran.

Raka menahan kanopi itu, "Jangan! Jangan! Jangan tutup tokonya! Saya cuma mau nanya satu hal!"

Perempuan itu tampak geram, ia bahkan naik ke atas kursi untuk menghalangi Raka, "Kalau kau mau tanya tentang bumbu rahasianya, tidak akan kami beri tahu!"

"Apa?" Raka mendelik, "Rasanya saja enggak enak, buat apa saya tanya bumbu rahasia segala?!"

"Apa katamu?!" pekikan perempuan itu menulikan Raka.

Tersentak, Raka tidak sadar bahwa perempuan itu mendorongnya menjauh dari kios. Di saat yang sama pula kanopi kios itu terayun dan mengenai kepalanya. Telinganya berdesing, pandangannya gelap sesaat dan Raka pun jatuh ke tanah.

Segala caci maki ia keluarkan dari mulutnya, tak peduli ada berapa orang yang mengelilingi dia serta menyaksikan keributan itu. Suara tinggi perempuan itu semakin mendekat, ia terdengar panik dan meminta maaf berkali-kali. Pandangan Raka sedikit kabur.

"Hei, kau enggak apa-apa?" suara laki-laki, langkah kakinya mendekat. Mengerjapkan mata berkali-kali, Raka sudah bisa melihat secara normal lagi, "Apa yang terjadi, Sayang?"

"A-aku tidak sengaja. Dia tiba-tiba lari ke arahku dan bilang kalau makanan kita tidak enak. Lalu...la-lalu...," suaranya mulai pecah.

Raka mengerang, menopang tubuhnya agar terbangun. Panas menjalar di kepala, beruntung kesadarannya tidak hilang, "Bukan, maaf, itu salahku," Raka mencoba menjelaskan, "Saya cuma mau bertanya sesuatu."

Perempuan penjaga kios itu sudah menutup tokonya dan membawa sebotol air dingin kepada Raka. Ia meminta maaf sembari memberikan minuman itu dan berdiri di belakang kekasihnya. Kebisuan di antara mereka membuat suasana semakin canggung.

Raka mengerjapkan mata, mengangkat botol air mineral itu tinggi-tinggi, "Makasih, sekarang aku jadi ingat mau tanya apa: Apakah kalian tadi melayani seseorang yang berambut cepak, lebih tinggi dariku mungkin sekitar 175cm, memakai jaket bomber hitam dengan dua garis putih di kedua tangannya?"

"Ciri-ciri orang itu terlalu umum, tahu. Kamu pikir kedai kami ini buka cuma sebentar atau bahkan enggak laku?" perempuan itu tetap ceriwis dan ngotot.

Raka mengerling, "Lupakan saja kalau begitu," ujar pemuda itu.

"Tidak, tidak, tunggu," kekasihnya tampak berpikir, "Ya memang deskripsinya terlalu umum, tapi aku melihat seseorang seperti itu. Yang membuat dia mencolok adalah kulitnya berwarna biru."

"Biru?" ulang Raka.

"Ya, biru. Selama dua hari terakhir dia selalu ke sini, membeli menu yang sama juga. Apa dia orang yang kau cari?"

"Kau tahu di mana dia tinggal?" tanya Raka.

"Tidak, aku hanya bertemunya dua kali," ujar pria itu lalu menunjuk jalan di mana Raka mengejar sosok itu tadi, "Tapi, dia selalu pergi ke sana setelahnya."

Down There Is What You Called Floor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang