5th Floor

1.3K 182 54
                                    

GELAS-GELAS berdenting bagai suara lonceng di telinga Nigel. Jarang-jarang barnya seramai ini. Ia ingat sekitar dua jam yang lalu seorang rider yang mengenakan jaket beraksen neonnya datang sambil menyeringai lebar dari telinga satu ke telinga lainnya.

"Hei Bos," sapa pria itu. Wajahnya kotor dengan debu serta tanah; tubuhnya kecut karena keringat. Nigel mengelap konter bar dan mengedikkan dagu. Sang rider melanjutkan, "Bilang ke pengunjung lain, hari ini semuanya minum gratis!"

"Jangan bikin aku merugi."

Pria itu merapikan jaketnya, menunjukkan warna biru serta hijau neon pada bagian lengan atas, "Cuma untuk hari ini. Kami dapat tangkapan besar, Bos dan kami hanya ingin merayakannya bersama-sama, ha! Bagus kan?"

Seketika Armadillo ramai dengan seruan para pengendara pagna dan tak lama para pengunjung umum lainnya. Liam dan Nigel, yang bekerja di balik konter, kewalahan melayani mereka. Mereka bisa mengambil lagi oksigen ketika para pengendara itu telah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, melebur bersama sekelompok orang yang sekadar ingin menghabiskan waktunya di dalam bar saja.

"Kau tahu, Oom Nigel," ucap salah seorang pengendara muda yang duduk di konter bersama dua orang temannya, "ada tiga jenis pagna di dunia ini: yang baru lahir, yang masih muda, dan yang sudah tua."

"Bukannya itu tetap saja satu jenis?" tanya Liam dari balik konter yang langsung mendapat tatapan tajam lelaki itu. Cepat-cepat Liam menutup mulutnya dan mempersilakan pengendara muda itu untuk melanjutkan. Akan tetapi, temannya yang lain menambahkan.

"Itu berdasarkan usia, Bego. Yang benar itu dibaginya berdasarkan ukuran: kecil, sedang, dan besar!"

"Hush, hush, hush," si pengendara muda itu tampak mabuk. Ia mengangkat telunjuk dan meletakkannya di bibir temannya, "Diam, Kres. Kau enggak tahu apa-apa."

Nigel dan Liam saling tatap dengan alis berkerut. Sudah tidak aneh melihat orang-orang mabuk dan terjadi satu jam sejak pengendara datang. Mengedikkan dagunya, Nigel menyuruh Liam untuk tetap di sana sementara pria itu berjalan menuju pintu bawah tanah. Terkadang suara ketukan tidak terdengar dalam keramaian dan, benar saja, seseorang menunggunya dari bawah sana. Seorang teman lama, berpakaian serbahitam dengan mata yang sama gelapnya bagaikan malam. Usianya tidak terlihat bertambah sejak dua puluh tahun silam.  Rasa heran dan juga takjub Nigel tak pernah kandas.

"Lama!" ucapnya dengan suara serak yang tidak menyenangkan untuk didengar, "Untung saja birmu enak."

Cyrus membawa seorang gadis yang Nigel pikir adalah kliennya. Sudah terlalu sering sahabatnya itu bolak-balik datang dari Huva Atma dengan berbagai jenis orang, dari yang muda sampai yang tua, laki-laki maupun perempuan, baik dari Floor ke tempat asal Cy maupun sebaliknya. Nigel tidak pernah bertanya banyak karena tidak ada hal yang perlu untuk dipertanyakan. Pria itu tahu apa yang Cy lakukan dan itu sudah cukup.

Akan tetapi, wajah gadis ini tersimpan di sudut memori Nigel yang menuju paruh baya. Sepertinya ia pernah melihat wajah gadis berkulit pucat itu namun si gadis tidak menggubris pertanyaan Nigel. Mulutnya terkunci dan matanya kerap awas terhadap sekeliling.

Gadis itu tampak kesakitan, jalannya sedikit terseok. Ia sudah terbiasa untuk tidak menggubris pelanggannya. Barnya adalah tempat bersenang-senang, bukan tempat konsul masalah pribadi yang kadang tidak pernah ada habisnya. Para konsumennya bisa mengurus dirinya sendiri. Soda jeruk yang Liam berikan tak tersentuh ketika gadis itu pergi ke kamar kecil. Nigel menatap karyawannya dengan penuh arti, tersenyum penuh arti pula.

"Kenapa, Bos?" Liam sedikit risih ditatap seperti itu, "Semua orang harus minum 'kan?"

Nigel terkekeh, mengambil sebotol bir lagi untuk diberikan kepada Cyrus yang telah melayang kesadarannya. "Perempuan itu klienmu, Cy?"

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now