15th Floor

652 112 30
                                    

"Aku menolak," ucap Raka tegas.

"Kenapa?" tanya pria berhidung mancung itu.

Seluruh mata menatap mereka, mengantisipasi apabila akan ada hal yang lebih dari sekadar silat lidah semata. Menarik napas, Raka melipat kedua tangannya di depan dada dan melanjutkan, "Baiklah ini permasalahannya, kau menyuruhku masuk ke dalam sana untuk menyelamatkan seseorang yang bahkan aku enggak tahu itu siapa. Oke, enggak masalah, aku bisa melakukan itu. Tapi, apa kau tahu apa yang menyebabkan gempa besar itu? Itu enggak natural. Ada pagna di bawah sana dan kalian memanggilnya dengan sebutan King. King, lho, king; raja! Aku harus menghadapi monster sialan itu sendirian? Yang benar saja?! Kalau kau memang ingin menumbalkanku si orang asing untuk mati, bilang saja dari awal."

"Whoa, jangan berpikir terlalu jauh seperti itu," Hertz mengangkat tangannya, mengisyaratkan Raka untuk berhenti berbicara, "Kita kekurangan tenaga, Raka. Kedatangan ekskavator juga masih lama. Petugas patroli takkan bisa turun ke sana karena mereka ditugaskan di tempat yang lain. Mereka kelelahan dan masih memerlukan waktu untuk pemulihan. Mereka tidak akan menjelajahi terowongan itu dalam-dalam, tetapi akan membantumu mencari di reruntuhan. Kupikir kau yang paling sehat dan paling cocok untuk bertugas di bawah sana."

Raka mendengus, "Kalau sehat, aku enggak akan datang ke bawah sini. Kalau sehat, aku bisa menggerakkan tanganku dengan baik. Aku nyaris mati karena dikejar pagna dan aku enggak mau melakukan kebodohan yang sama lagi," meski Raka lebih pendek daripada Hertz, pemuda itu menatapnya dalam-dalam, "Masih ada misi yang harus kuselesaikan dan aku belum boleh mati."

Hertz memijat pangkal hidungnya, menghela napas panjang. Laki-laki yang mengangkat batu berkeringat memang tampak seperti mandi. Tangan mereka yang penuh jahitan tampak mengilap, terlihat kecewa dengan tanggapan Raka. Namun pemuda itu tidak sadar akan dampak ucapannya.

"Aku akan turun," ucap Indhi setelah ia berbicara dengan Shen. Wajahnya yakin, tetapi sarat kecemasan.

Sensasi dingin menjalar di seluruh tubuh Raka sesaat. "Jangan," ucapnya lirih, mendapatkan Indhira yang memiringkan kepalanya.

"Aku akan baik-baik saja, Raka. Aku sudah tinggal di sini selama dua tahun, ingat?"

"Dua tahun enggak berarti kau akan selamat selama dua detik setelah masuk ke dalam sana," cibir Raka, skeptis. Mereka saling tatap namun Indhi memalingkan wajahnya lebih dulu. Berdecak, akhirnya Raka mengiyakan bahwa pemuda itu akan ikut turun.

"Aku akan ikut dengan kalian. Seseorang yang tidak tahu apa-apa dan juga seorang perempuan tidak akan bisa menjalankan tugas mereka dengan baik," Abu berjalan mendekat. Janggut lebatnya membiaskan apa yang sesungguhnya pria itu pikirkan. Ia mengenakan jaket kulit yang warnanya semakin gelap karena usia lalu menyampirkan sebuah senapan mesin di punggungnya, "Dulu aku seorang rider; aku tahu bagaimana berhadapan dengan pagna. Makhluk itu takut dengan cahaya, jadi kita butuh obor. Bisa siapkan itu untuk kami?"

Hertz mengisyaratkan seseorang untuk melakukan apa yang Abu minta. Si hidung mancung pun menjelaskan bahwa ada dua orang yang masih belum ditemukan. Mato —pria yang Raka temui di bar bersama Abu— termasuk salah satunya, juga seorang patcher yang masih belum pulih seutuhnya, Fiz.

Asumsi Raka akan kondisi kedua orang itu akan baik-baik saja, Abu anggap tidak mungkin.

"Mato sudah tua," ucap Abu pada Raka. Ia mengambil senapan mesinnya, memeriksa peluru yang kiranya cukup untuk mempertahankan diri di bawah sana, "kakinya juga tidak dalam kondisi prima. Jika King mengejarnya, tamat sudah dia. Kau bisa menembak?"

Raka menggeleng. Tempat asalnya terlalu aman sehingga jarang ditemukan orang yang membawa pistol maupun senapan. Abu berdecak, kecewa dengan respon Raka yang kurang kompeten. Ia bertanya apa yang bisa Raka lakukan di bawah sana.

Down There Is What You Called Floor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang