Bab LVIII

6.1K 514 74
                                    

[58. Ghost.]

SANG mentari tenggelam, rembulan pun naik menggantikannya dengan bintang-bintang. Langit masih terlihat merah, karena baru memasuki pukul 6 menjelang malam.

Di koridor rumah sakit itu, seseorang duduk di bangku depan sebuah ruangan sendirian. Beberapa orang yang lewat terlihat menatapnya aneh, lalu bergidik ngeri meski tak diperdulikan olehnya.

"Jadi lo belum mati?" tanya River tiba-tiba membuat mata itu memelototinya, dan tangan putih itu hendak menjitak dahinya, tapi ya.., nembus.

Dia, seorang Leana Ahryseil yang kini tak kasat mata itu memutar bola matanya, "jadi lo ngarepin gue mati gitu?"

Mendapat jawaban sinis dari lawan bicaranya membuat River menghela nafas jengah, "gak gitu juga.., cuma nanya doang kok."

"Ya pertanyaan lo aneh banget, udah jelas ini gue ada di depan lo," balas Lea, nyolot.

"Ya kan sebagai arwah, lo gak tau gimana badan lo sekarang.., siapa tau lo udah gak bisa masuk-"

Menyadari ucapannya membuat River membuang muka, "gak, gak ada yang kaya gitu."

Lea mendelik lalu menunduk menatap lantai. "Ngomong sendiri, bales sendiri, cih."

Lalu Lea menyapukan pandangan ke sekitarnya, memicingkan mata saat melihat ada dua suster di ujung koridor yang terlihat sedang bisik-bisik dengan mata melirik ke arah River.

"Lo kayaknya beneran ngomong sendiri deh," ucap Lea, terkikik geli.

"Gak peduli, yang penting sekarang gimana gue bawa lo supaya bisa masuk ke tubuh lo."

Sedari tadi memang itu yang River pikirkan, ia harus membuat Lea kembali masuk. Tapi gadis yang lebih muda 2 tahun darinya ini sungguh keras kepala, katanya gak mau masuk dulu, mau healing dengan terbang kemana-mana.

Ingin rasanya ia menyeret Lea lalu melemparkannya ke tubuhnya, tapi apalah daya, saat ini gadis itu tak berbentuk fisik yang bisa ia sentuh begitu saja.

"Tadinya gue juga pengen mati loh." Lea berucap tiba-tiba, membuat River menoleh lalu menatapnya horor, tetapi gadis itu tetap menatap ke depan dengan pandangan kosong.

"Tapi.., kayaknya itu bukan takdir gue. Gue masih di izinin Tuhan buat tetep hidup di dunia," ucap Lea lagi lalu menoleh menatap River.

"Tadinya gue pengen ikut kak Sovi.., pengen ketemu dua Mama gue sama Papa juga, pengen ketemu puluhan korban teror bom 16 tahun lalu, gue pengen minta maaf sama mereka."

River menatap Lea tanpa menunjukkan emosinya, lalu ia bersandar pada tembok. Bersedekap dada lalu memperhatikan Lea dari samping.

"Lo tau tentang itu?" tanya River, lirih.

Lea mengangguk ragu. "Soal teror bom nya? Mama gue sama bokap lo kan?"

Lea terkekeh pelan lalu matanya berkaca-kaca, "dua orang bodoh yang mengharapkan kematian.., tapi sekarang kayaknya gue juga gitu deh."

"Gak boleh ngomong gitu, gue gak suka," peringat River tapi tak direspon oleh Lea.

Lea menunduk, menatap bayangan tubuh River yang tetap terlihat indah. Lalu menatap kakinya, tak ada bayangan yang mengikutinya.

"Mama Leena sama Papa Crishenio bener-bener cinta sehidup semati banget sih, meski sematinya agak maksa," ucap Lea, menganggap itu sebuah candaan meski kini ia menahan sesak di dadanya.

Keheningan melanda, suasana mendadak canggung saat keduanya sama-sama tak berniat untuk membuka suara. Hingga akhirnya River menghela nafas jengah.

"Lo butuh dipeluk 'kan? Makannya, sekarang masuk ke tubuh lo, biar gue bisa peluk lo," ujar River, kembali membujuk tetapi lagi-lagi Lea hanya menganggapnya angin lalu.

Leana And 7 Crazy BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang