Bab LXII

3.5K 300 4
                                    

[62. Suka.]

SUASANA hening di tempat penuh kedamaian itu, sirna karena isak tangis seseorang. Terdengar pilu, dengan raungan dan banyak permintaan maafnya yang diucapkan.

Air matanya terus mengalir deras, menuruni pipi, hingga menetes mengenai nisan bertuliskan nama seseorang.

Inilah yang River benci, alasannya yang beberapa jam lalu menolak permintaan Lea untuk mengunjungi Sovi.

Gadis itu menangis terisak, berjongkok di samping makam cantik itu sambil mengusap nisan dari kakaknya yang pergi karena sebuah insiden mengerikan.

"Kak Sovi.., maaf."

Rasa bersalah, sakit hati, dan menyesal terus menyerang Lea secara bertubi-tubi. Terhitung sudah lebih dari 15 menit dia berada disini, berada di tempat istirahat terakhir bagi kakaknya.

"Lea ayo balik, nanti gue makin dimarahin."

Ucapan River tak ia gubris, kini pikirannya menerawang, yang membuat tangisannya semakin histeris.

Menyadari Lea yang tak lagi kondusif, River kini memilih menarik Lea untuk bangun lalu menggendongnya ala bridal style lantaran Lea yang belum cukup kuat untuk berjalan.

"Lo ingkar janji, katanya gak bakal nangis," ucap River pelan, tapi tak dapat membuat tangisan Lea mereda.

"Tapi kak Sovi..."

"Jangan pikirin itu, kita balik ke rumah sakit."

Dengan sedikit kesusahan, River membuka pintu mobilnya lalu mendudukan Lea di atas kursi belakang, karena Lea belum begitu berani duduk di kursi samping kemudi.

"Pake seatbelt-nya." Setelah mengucapkan itu, River menutup pintu lalu ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi.

Baru saja duduk, ia sudah dibuat jengkel dengan ponsel di sakunya yang terus menerut bergetar dengan banyak notifikasi yang masuk. River mengambil ponsel di sakunya dengan jengkel, lalu memiringkan wajah saat melihat darimana notifikasi-notifikasi menjengkelkan itu berasal.

Pesan spam dari Abim, mengomeli dirinya karena mengabaikan pertemuan dengan para petinggi perusahaan, meskipun River belum bisa mengambil alih karena usianya masih muda, ia tetap harus rajin-rajin mencari muka.

Ada juga beberapa nomor tak di kenal yang mengirim pesan spam secara bertubi-tubi padanya, yang menanyakan keberadaan Lea. Tak perlu ditanya lagi, dari kata-kata kasar itu sudah River tebak bahwa pengirimnya adalah Gilgey.

"Kita balik sekarang," ujar River sambil menyalakan mesin mobilnya.

"Gak mau." Lea berucap pelan, membuat River meliriknya sekilas melaui kaca spion lalu kembali fokus pada jalanan.

"Gue yang dimarahin, Lea. Ini aja gue pasti udah di sumpah-sumpahin," ucap River selembut mungkin, "lagian kondisi lo belum bener-bener baik."

Lea membuang muka, lebih memilih menatap jalanan dibandingkan River yang berusaha membujuknya, "whatever."

River tanpa sadar memutar bola matanya, lalu menambah kecepatan mobilnya. "Jangan bikin gue pusing, nurut aja."

Keheningan melanda, dengan Lea yang sibuk bergelut dengan pemikirannya dan River yang berusaha fokus pada jalanan.

"Kariv.."

"Ya?"

"Gue bingung."

River menaikkan sebelah alisnya, "bingung kenapa hm?"

Lea bersandar pada kursi, terlalu banyak kata-kata di otaknya membuatnya pusing. Ia juga sedikit merasa lelah, juga rasa bersalah yang tak kunjung hilang.

Leana And 7 Crazy BoysWhere stories live. Discover now