Chapter 1

6.5K 917 303
                                    

"Nona Ricci dan Tuan Keiran ...." Tante Fang duduk membelakangi ruang pengamat. Dua tamunya duduk di seberang meja, dapat kulihat wajah mereka dengan jelas. Tampak tegang. Tante Fang mengubah posisi duduk, menjadi lebih santai. "Enggak usah terlalu formal, deh. Aku Iptu Fara."

Riviera tertawa kecil, terdengar lega. "Terima kasih, Inspektur. Panggil aku River saja."

Aku ingat, kapan terakhir melihat gadis itu. Di acara wisuda angkatan mereka di aula DIHS. Aidan menjadi valediktorian, dan River tidak jauh-jauh dari sisinya. Foto mereka berdua bahkan menghiasi hall of fame. Couple of the year. Wajah River tidak banyak berubah dalam setahun ini. Hanya dulu, rambut gadis blasteran Italia itu  ikal pirang. Sekarang lurus cokelat.

"Keiran itu namaku. Chandrawinata nama keluarga yang ditulis di depan kalau sesuai akte. Oh, maaf, aku malah ngoceh. Panggil saja Kei," kata cowok berpipi chubby di sampingnya, tersenyum. Ah, si baby face­ yang populer dengan keramahannya. Tapi sampai ia lulus, tidak ada cewek yang berhasil menggaetnya. Cokelat Luber, cowok laten lupa puber, begitu mereka menjuluki.

"Jadi, kalian satu sekolah dengan Aidan?" Tante Fang menyebut namanya tanpa titel menyedihkan. Aku senang ia memperlakukan Kei dan River dengan tenggang rasa.

"Ya, selama di Darmawangsa Internasional School," Kei menjawab. "Kami berpisah sejak kuliah. Aku di Teknik Informatika ITB. River di kedokteran UNPAD. Dan Aidan, enggak ada angin enggak ada hujan, mendadak pilih Sekolah Tinggi Pariwisata."

"Baru kuliah tahun ini kan?"

Kei dan River mengiakan.

"Inspektur, kami ingin ketemu Iptu Harris Anwar yang menangani kasus Aidan." River menghentikan basa-basi.

Tante Fang menggeleng. "Iptu Harris sedang tugas di luar kota. Kasus ini sudah ditutup sebelum ia pergi. Kalau ada pertanyaan, silakan, aku akan coba jawab."

"Tolong lanjutkan penyelidikan." River menyambar cepat. "Iptu Harris pernah bilang, kasus ini enggak wajar. Dia benar. Kami saksinya. Aidan enggak pernah mendekati narkoba dan miras. Merokok saja enggak. Gaya hidupnya bersih. Ia pemain basket, dan secara akademis, selalu masuk top three di sekolah. Enggak mungkin banget overdosis ... sampai ... sampai ...."

Aku mengepalkan tangan yang gemetar. Ingatan itu menyeruak ke permukaan. Berita kecil di koran, nama Aidan Narayana di baris pertama, dan foto mobil tempat tubuhnya ditemukan. Kegemparan di sekolah. Desas-desus dan perdebatan. Telinga dan hatiku tidak pernah bisa menerima. Aku lari. Tidak ingin tahu mendetail. Selama beritanya masih tidak utuh, simpang siur, tidak bisa disebut sebagai fakta, bukan? Mereka bisa saja keliru mengenali jenazah. Mungkin Aidan hanya pergi berlibur. Atau memutuskan pindah kuliah ke luar negeri. Buktinya setelah tiga minggu, kehebohan itu mereda. Tidak ada perkembangan kasusnya, atau mereka beralih ke topik lain. Apa pun itu, aku melanjutkan hidup, menepis kejadian itu seperti mimpi buruk.

Mimpi buruk yang sekarang difaktakan oleh River dan Kei.

Tante Fang membuka map, mengangsurkan selembar kertas. "Ini berita acara minggu lalu, untuk mengingatkan. Kami sudah memberikan keterangan tentang kasus ini kepada keluarga. Semua sudah dilakukan sesuai prosedur. Kalian juga hadir waktu itu dan menyatakan mengerti. Kenapa kalian datang lagi mengajukan tuntutan tanpa dasar?"

"Kami mengerti prosedur, tapi Aidan enggak mungkin melakukan itu!" Kei menjawab tegas.

"Kalau bukan Aidan yang melakukannya terhadap diri sendiri, berarti ada orang lain yang mencelakainya. Apakah kalian tahu sesuatu yang memungkinkan kasus ini dibuka lagi? Kalau ya, kalian bisa mengubah pernyataan." Tante Fang menunjukkan kertas-kertas lain. "Di malam kejadian, Nona River menyatakan sedang berada di Bologna, Italia, selama seminggu. Dan Tuan Kei di rumah sakit terkena demam berdarah? Silakan sampaikan kalau ada petunjuk baru."

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now