Chapter 15 (a)

2.2K 552 199
                                    


River membukakan pintu, langsung menjerit melihat lengan Kei. Lecet-lecet merah begitu kontras pada kulit putihnya. Gadis itu menarik Kei masuk dan mendorongnya duduk di sofa. Mengocehkan bahayanya luka kalau tidak ditangani dengan benar. Bisa infeksi. River menebak, luka Kei tidak dibersihkan dengan larutan NaCl. Kei membantah, tadi sudah dibersihkan Rhea, sampai perih. Ya, pasti perih kalau dengan alkohol, omel River. Kok tahu desinfektan yang kugunakan mengandung alkohol? Ah ya, River kuliah di kedokteran. Kei pun bungkam, menurut saja, saat River mengulang pertolongan pertama dengan perlengkapan P3K yang diambil dari lemari Aidan. River begitu hafal tempat dan isinya. Aku tahu, River sendiri yang memenuhi persediaan itu.

"Aku enggak minta. Tapi River juga enggak bisa dilarang," kata Aidan, angkat bahu.

Kemunculannya begitu wajar. Aidan terbiasa mengamati saja Kei dan River keluar masuk apartemen. Ia duduk di sandaran sofa, bersedekap, kaki panjangnya diluruskan. River terlalu banyak bergerak, mondar-mandir menembus visualisasi Aidan. Aku tidak menyalahkan gadis itu. Resahnya berlipat ganda saat Kei menceritakan semua yang dialami. River lalu menyambung dengan ceritanya. Beberapa kali, keduanya memandangku, untuk memastikan kebenaran informasi yang saling dipertukarkan. Sekarang, pengetahuan kami sama. Tidak ada yang disembunyikan.

Ralat. Kecuali pesan terakhir dari si hoodie hitam kepadaku. Jangan bilang-bilang mereka, kalau aku ingin menolognya. Pelan-pelan, aku mundur. Memberi isyarat kepada kenangan Aidan untuk mengikutiku. Biarkan Kei menikmati perhatian penuh River. Biarkan River menebus waktunya yang tersia-sia.

"Ada apa?" Aidan menjajariku.

"Aku juga perlu memeriksa dahimu." Kuajak ia masuk walk-in closet. Cermin di tengah ruangan sudah pernah kubaca. Menunjukkan Aidan biasa membuat penampilannya berantakan. Juga saat kemarahannya meledak, tinjunya menggempur dinding di sisi cermin dan melukai kelingking sendiri. Aku tidak berharap melihat kenangan baru. Tapi suasana hati berbeda dan perkembangan pengetahuan sering memunculkan detail kenangan yang pernah terlewatkan.

Aku berkonsentrasi pada wajah Aidan saat ia mengacak-ngacak rambut. "Dahimu bersih. Kamu belum terluka." Lalu jemariku bergeser pada retakan di tepi cermin, ada darah yang pernah menodai. "Kenapa kamu marah, Aidan? Marah sama siapa? Kamu jadi beda banget kalau sudah ngamuk begitu. Kayak bukan Aidan yang biasanya tenang dan enggak gampang terprovokasi."

Gerakan tinjunya mantap bertenaga. Persis seperti waktu ia memukul Armand. Ekspresinya keras. Alis bertaut. Itu dia! Parut sekitar tiga sentimeter melintang dari alis kiri ke pelipis. Bekas hantaman kayu Armand.

"Kalau hadap depan, parut itu memang enggak mudah terlihat. Tapi dari samping, cukup jelas. Berapa jahitan, Aidan? Darah sebanyak itu ... aku yakin lukamu cukup dalam sampai membekas begitu."

Aidan tidak menjawab. Duduk saja di sofabed sambil memandangiku dengan senyum geli. Aku mendecak kesal. Tentu saja, aku sendiri yang membuat tampang Aidan terlihat konyol karena salah reaksi. Tapi andaikan Aidan hadir nyata sekarang, bakal kumarahi juga dia. Mau-maunya dipermainkan Armand, membahayakan diri sendiri. Bagaimana kalau kayu itu mengenai matanya? Gara-gara ingin menyelamatkan aku, lalu bertindak sembrono?

Aku membanting pintu lemari. Menyalurkan emosi campur aduk yang sulit kuuraikan. Satu pemikiran mendesak dan mewujud. Tidak bisa kucegah. Kemungkinan bahwa aku adalah penyebab jiwanya direnggut dengan kejam. Tiba-tiba saja aku seperti dilempar ke dalam kubangan rasa bersalah. Udara sekitarku seakan menghilang. Aku jatuh berlutut, dadaku sakit.

"Hey, hey, take it easy! Atur napasmu. It's okay." Aidan menepuk-nepuk punggungku. "You're a mighty girl. Punya kekuatan untuk menyelesaikan ini."

CLAIR [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang