Chapter 13 (a)

2.7K 608 111
                                    

Sebelum aku turun di depan lobi SMA, Bang El merasa perlu mengulang serangkaian pesan yang intinya sama. Belajar yang baik, sudah mau ujian akhir. Sering-sering pulang ke rumah Tante Fang, bukan ke tempat kos. Makan teratur. Hati-hati dengan bad boy, bisa menyeretmu ke banyak masalah. Hati-hati juga dengan cowok baik-baik. Kelihatannya saja begitu, di belakangnya, banyak masalah juga. Lebih hati-hati lagi dengan cowok yang mendekatimu. Jangan tergoda rayuan untuk saling memberi. Kamu beri dia kesempatan, dia memberimu masalah. Intinya, cowok identik masalah.

"Bang El juga dong," kataku, mencebik.

Beng El terkekeh. "Ya. Makanya sekarang aku kelimpungan memperbaiki semua masalah yang pernah kutimbulkan."

"Semangat, Bang! Jangan pulang sebelum dapat restu orangtua Teh Nind."

Bang El mengangguk penuh tekad.

Aku mengadu kepalan tangan dengannya, lalu turun. Mobilnya pun segera menjauh. Setidaknya, tiga atau empat hari, Bang El bakal sibuk dengan calon mertua di Tasikmalaya. Hubungan yang tersambung lagi menguat dengan cepat. Aku lega, bukan hanya karena Bang El mendadak bertemu jodoh, tapi juga karena kepergiannya memberiku keleluasaan. Aku bisa berfokus pada Aidan, tanpa harus berbohong.

Itu dimungkinkan juga dengan kesibukan Tante Fang. Kemarin, hanya sebentar di rumah, ia dan Stella pergi lagi mengikuti petunjuk baru.

Sky Lee masih hidup! Kudengar Stella bersorak gembira. Setelah sekian lama menghilang, Sky Lee tiba-tiba menghubungi lagi keluarganya di Singapura dari suatu titik koordinat, masih di Bandung.

Tapi dini hari tadi, Tante Fang baru pulang. Lelah dan kecewa. Sky Lee ternyata cerdas dan tidak ingin ditemukan. Sebelum terkapar di kamarnya, Tante masih sempat membebaskan aku dari status tahanan rumah. Bang El menjamin aku tidak akan macam-macam. Hari ini, aku boleh beraktivitas seperti biasa, kecuali ke kantor polisi.

Dan di sinilah aku, memandangi aliran siswa memasuki lobi SMA. Atasan kemeja krem, dasi, rompi marun, dan jas abu-abu, dengan rok atau celana abu-abu. Aku mengenakan seragam yang sama, tapi rasanya, umurku jauh lebih tua dari mereka. Obrolan yang tertangkap tentang pacar, liburan, makanan kafe, idol, lagu, drama, terdengar semakin asing. Aku memang berjarak dengan remaja kebanyakan dan kehidupannya. Tapi sejak terlibat dengan Aidan, Kei, dan River, jarak itu mendadak berlipat-lipat.

Ini minggu terakhir sekolah sebelum libur Natal dan tahun baru. Tidak ada pelajaran lagi. Kegiatan ekskul dan lomba antarkelas meramaikan sekolah. Kesempatan bagiku untuk bebas keluyuran, napak tilas ke tempat-tempat aku bertemu dan berbicara dengan Aidan.

Mulai dari lobi. Aku berdiri di dekat patung perunggu sang pendiri sekolah. Mengulang kebiasaan lama. Kebiasaan yang mulai terbentuk sejak geer dengan perhatian Aidan. Kebiasaan yang terhenti setelah Aidan lulus. Di sini, aku menunggu Aidan datang. Merasa berani karena diyakinkan oleh wajah teduh Pak Darmawangsa Senior. Bahwa semua siswa berkedudukan sama. Prasasti berbentuk buku terbuka di bawah patung menjadi samaran yang bagus pula. Orang menyangka, aku sedang membaca moto sekolah.

Open hearts. Open minds. Open doors.

Lalu Aidan melangkah masuk. Memberiku senyum lebar seperti biasanya. Menyegarkan udara di sekitarku dengan wangi sampo dari rambutnya yang diacak angin. Kuhirup dalam-dalam, aroma air pegunungan pun menyeruak lembut dari tubuhnya.

Ia berdiri di sampingku. Memandangi tiga kalimat moto itu, yang ajaibnya, tidak habis dibaca dalam semenit, dua menit, bahkan lima menit. Saat lobi menjadi ramai, Aidan pun akan pergi.

Tidak ada kenangan lain di sini. Aku tahu, prasasti tidak bisa membantu, karena Aidan tidak pernah menyentuhnya. Dua tangan selalu masuk saku jas, atau memeluk ransel.

CLAIR [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang