Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)

2.4K 554 90
                                    

Kelas 10, semester II

Aku memandangi undangan ultah itu dengan takjub. Membaca berulang-ulang namaku di kartu dan amplopnya. Benar, undangan itu untukku. Seumur hidup, baru kali ini aku diundang ke pesta ulang tahun. Oh, dulu pernah dua kali, waktu aku SD. Tapi mereka merayakannya di rumah yatim piatu, jadi otomatis aku hadir di sana. Kukira, itu tidak bisa dihitung.

Selebihnya, pada ultah teman-teman sekolah, aku biasa dilewatkan. Alasannya beragam. Dari yang kasihan karena aku tidak punya baju pesta dan tidak punya uang untuk membeli kado, sampai yang khawatir karena aku terlalu aneh. Intinya, Rhea anak yatim piatu bersarung tangan, lebih baik tidak muncul di foto-foto bahagia mereka.

Jadi, malaikat apa yang membuat si kembar JJ ini mengingatku? Jaylen dan Jordan Flores sama sekali tidak punya alasan bagus mengundangku. Dua cowok Filipina ini seangkatan tapi tidak sekelas denganku. Mereka tidak terlalu populer di kalangan cewek, tapi sering mengadakan pesta dan setiap kalinya lebih suka mengundang anak-anak populer. Sejak masuk SMA, kami sering berpapasan, tidak sekali pun mereka melirikku.

"Kamu diundang?" Aidan sudah berdiri di sampingku, melongok kartu yang kupegang. Dua alisnya bertaut.

Nada heran Aidan lebih menggelitik perasaanku ketimbang kehadirannya. Ya, memang aku terkejut, Aidan tiba-tiba muncul saat semua ekskul Sabtu sudah bubar. Tapi dengan pertanyaan itu, Aidan menganggap aku tidak layak diundang, bukan?

"Kapan kamu terima? JJ sendiri yang ngasih atau siapa? Kamu mau datang?" Aidan memberondongku dengan pertanyaan yang membuatku semakin tidak nyaman.

"Aku enggak harus jawab," sahutku ketus. Berbalik cepat untuk pulang saja. Niat awal belajar di perpustakaan sudah terganggu sejak menemukan undangan ini di mejaku di kelas.

"Hei!" Aidan sudah mengadang. Merentangkan dua tangan, seperti gerakan memblokir lawan dalam permainan basket.

Aku bisa saja menerobos ke bawah lengannya, tapi sebagai kapten yang berpengalaman, Aidan pasti sudah memperhitungkan itu. Lagi pula aku tidak mau tersentuh kulitnya. Tidak ada jalan di belakangku. Jadi, aku menentang matanya. "Maksudmu, aku enggak pantas datang?"

"Wah, bukan begitu!"

"Jadi, apa maumu?"

"Janji, enggak akan lari?" Aidan tersenyum dikulum.

Ya, ampun. Dalam keadaan tersinggung pun, aku tidak bisa mengelak pesonanya. Kusembunyikan undangan ke belakang punggung, tanpa mengangguk atau menggeleng.

Diamku ditafsirkan suka-suka oleh Aidan. Ia menurunkan tangan. "Kamu sensi sekali hari ini. Lagi PMS?"

Aku membelalak. Rasanya kami tidak cukup akrab untuk sampai ke topik pribadi seperti itu. Fakta bahwa aku memang sedang datang bulan semakin membuatku kesal. Tidak ada kaitan antara gejolak hormon dengan rasa senang karena ada juga yang mengundangku ke pesta ultah. Siapa pun itu.

"Sebaiknya kamu enggak usah datang," kata Aidan, meledakkan balonku.

"Kenapa? Kamu sendiri pasti diundang dan bakal datang, kan?" Suaraku tidak menyembunyikan rasa kecewa dengan sikapnya. Tidak bisakah ia gembira untukku?

"Ya, diundang, tapi aku enggak akan datang. Undangan JJ beredar seminggu lalu. Kamu baru dapat hari ini, cuma beberapa jam sebelum waktunya. Kupikir itu aneh."

Di belakang kepala, aku mengakui Aidan benar. Tapi, aku membantahnya juga. Hanya karena aku ingin menentangnya saat ini. "Mungkin mereka baru ingat. Mungkin ada kelebihan undangan. Aku enggak peduli."

"Aku peduli." Aidan memasukkan dua tangan di saku jaket. Ekspresinya semakin serius saat memandangku.

Aku tercengang. Sementara dadaku mulai menggemakan detak jantung. Pengakuankah itu? Bahwa ia peduli dengan keselamatanku?

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now