Chapter 16 (b)

2.7K 621 223
                                    

Diary ini dari River, diterima Aidan dengan ekspresi senang yang tulus. Senyumnya pasti membuat River ingin memberinya hadiah lebih banyak lagi. "RR ... hmm, aku bakal ingat terus sama kamu. Tapi tahu sendiri, aku enggak biasa menulis harian, mungkin nanti. Atau kucoba sekarang ya, aku tulis entry pertama. Hari ini lulus SMP, River memberiku hadiah. Terima kasih. Done." Aidan tertawa.

Kenangan berpindah ke sebuah kamar. Bukan di apartemen. Mungkin di rumah lamanya. Aidan memasukkan buku-buku pelajaran bekas SMP ke dalam kardus, diary terselip di antaranya. Ia biarkan. Entah berapa lama buku ini di sana sampai dikeluarkan lagi untuk diletakkan di rak buku di tempat baru. Apartemen ini, di balkon tempat belajar Aidan. Lama Aidan tidak menyentuhnya meski bolak-balik mengambil buku pelajaran. Sampai suatu ketika ....

Aidan menyadari keberadaannya lagi. Membersihkannya dari debu. Membaca catatan pertama. Selebihnya masih kosong. "Sudah waktunya manfaatin kamu. RR, pas banget." Aidan membawa diary melompat-lompat di kasur. Ia menjatuhkan diri sambil mendekapnya. Tampak emblem DIHS pada jasnya. Aidan sudah SMA. Menurut buku pelajarannya, kelas 10.

Jemari Aidan meraba inisial RR di sampulnya dengan pandangan ... rindu? "Aku enggak bisa menyebut namanya. Perjanjian dengan langit harus kutepati. Nah, kalau aku pakai RR untuk menyapa dia dalam catatanku, aku enggak melanggar janji. Bisa saja itu inisialmu, kan?" Senyum Aidan merekah indah, sempurna.

Jantungku merespons dengan gelepar menyakitkan. Tahan, Rhea.

Aidan mulai menulis. Memperlakukan buku ini seperti benda berjiwa. Dipeluk, diajak berbicara dan bercanda di tempat tidur, atau 'diistirahatkan' di dalam laci meja belajar yang selalu ia kunci. Tidak pernah dibawa ke sekolah.

Temperatur mukaku sudah naik tanpa bisa dicegah. Itu sebabnya, interaksiku dengan kenangan Aidan begitu mudah dan natural di sini. Tersambung begitu saja, karena seperti aku yang menghidupkan kenangannya untuk mewakili Aidan, Aidah menghidupkan buku harian ini untuk mewakili RR.

River benar, RR itu bukan Riviera Ricci. Tapi tidak ada satu pun nama Rhea Rafanda di dalamnya. Aidan berjanji tidak pernah menyebut kepanjangan nama RR. Janji kepada siapa? Kenapa berjanji begitu?

Lagi, kutekan aneka perasaan yang membuncah. Kubuka-buka halaman diary, skimming dulu. Tulisan tangannya rapi. Gayanya sama dengan di robekan agenda 1 Januari di dalam kotak kalengku. Penulisnya satu orang, hanya Aidan. Ia tidak menulis setiap hari, kalau pengin curhat dan terdesak rindu kepada RR saja. Catatannya pun pendek-pendek. Satu halaman bisa memuat dua atau tiga entry. Pantaslah, buku 200 halaman ini bisa menampung catatan selama lebih dari tiga tahun, bahkan masih ada beberapa halaman kosong di akhir.

Aku ingin membaca semuanya. Ingin mengenal Aidan lebih dalam. Keinginan yang mulai mengalahkan rasa takut. Tapi dalam waktu terbatas ini, prioritasku adalah mengumpulkan petunjuk penting. Tentang kembaran Aidan, perangkat kunci laptopnya, dan kemungkinan ada rahasia sensitif yang fatal bagi mereka berdua. Jadi, kupejamkan mata, sepenuhnya mengandalkan tangan kanan untuk mencari kenangan yang relevan. Abaikan hal-hal yang bersifat pribadi.

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now