Chapter 4

4.4K 780 190
                                    


Kami berdiri di tempat parkir warung, menghadap ke seberang jalan, pada kompleks Darmawangsa International School. Pukul 20.45, gerbang utamanya sudah tutup. Lampu-lampu yang berselang seling dengan pohon menerangi sepanjang jalan masuk. Pada bagian depan, berdiri bangunan rendah playgroup, TK, dan SD, lalu di belakangnya, menjulang gedung-gedung empat lantai SMP dan SMA.

Kei memainkan kunci mobil. Tadi ia sudah pamitan, karena besok pagi-pagi sekali hendak ke Jakarta, katanya. Kami sudah bertukar nomor ponsel dan berjanji untuk saling update. Aku sudah menjabat tangannya lagi. Berfokus mencari kenangan tentang Aidan di menit-menit terakhir. Dalam tiga detik, aku mendapatkan penggalan memori saat Kei dirawat di rumah sakit, dan Aidan menjenguknya, mengiming-imingi tiga lembar tiket konser. Rasa penyesalan Kei saat itu begitu kuat, membaur dengan penyesalanku sendiri sekarang.

Berdiri bersisian begini, seakan ada tarikan magnet dari Kei pada tangan kananku yang telanjang. Bagaimana mungkin aku menginginkan kontak fisik? Buru-buru, kususupkan dua tanganku ke dalam saku hoodie. Aku hanya ingin menyerap kenangan Aidan sebanyak mungkin.

"Hei, Rhe! Apa yang kamu lihat?"

Aku menunjuk ke seberang dengan daguku. "Dua tahun satu sekolah, aku tidak berani mendekati Aidan. Sekarang, aku ingin benar-benar mengenalnya. Tapi sudah tidak mungkin lagi," kataku, melirih.

"SMA, masa terbaik kami. Belum setahun aku tinggalkan, jadi masih banyak yang segar dalam ingatan. Kamu tidak keberatan mengenal Aidan lewat aku?" Kei mengantongi kunci mobil dan mengulurkan tangan. "Mari ...."

Aku tercengang. Apa maksud Kei? Mengenal Aidan lewat tangannya? Jangan-jangan Kei menyadari proses penyadapan kenangan yang kulakukan.

"Kamu ragu? Ya, kamu bakal tambah menyesal sih. Tapi lebih baik, ketimbang tidak mengenalnya sama sekali. Akan kuceritakan best moments dengan Aidan langsung dari tempatnya." Kei mengambil tangan kananku, dan membawaku berlari kecil menyeberang jalan.

Ah, aku salah kira. Kata-kata dan tindakan Kei begitu wajar. Aku sampai terkesima dan lupa berfokus pada aliran memorinya. Sebelum aku dapat menangkap apa pun, kami sudah sampai di depan gerbang yang tertutup rapat, dan ia melepaskanku.

"Enggak bisa masuk lewat sini. Tapi ada jalan lain kalau kita memutari benteng ke kanan. Cuma siswa yang suka telat yang tahu rahasia ini. Ayo."

"Jadi, kamu suka telat?"

Kei tertawa. "Sepanjang SMA? Beberapa kali."

Aku mengikutinya menyusuri jalan setapak yang berbatasan dengan kebun-kebun orang. Lampu-lampu yang dipasang dengan jarak tertentu di sepanjang benteng menerangi langkah kami. Sepatuku menimbulkan bunyi berdesik di rerumputan basah. Beberapa kali cowok itu menoleh untuk memastikan aku tidak tertinggal. Angin malam yang lembap menembus hoodie, mendinginkan tubuhku yang berkeringat karena gairah. Tapi aku jadi waswas, hujan bisa tiba-tiba turun dan mengacaukan momen ini.

"Awas becek!" Kei, yang sudah melompati genangan lumpur, mengulurkan tangan untuk membantuku. Dari sentuhan singkat itu, kudapatkan kilasan ingatan, ia berlari-lari melalui jalan ini. Menyadap memori jadi lebih mudah saat Kei sedang mengenangnya.

"Ini dia!" Kei berhenti.

Pintu rahasia itu ternyata bukan pintu secara harfiah, melainkan bagian benteng yang terdongkrak pertumbuhan liar sebatang pohon di sisi dalam. Akar besar dan cabang-cabangnya mendorong tembok di sana sini. Benteng setinggi tiga meter itu menjadi bergelombang, lebih mudah dipanjat. Kei naik lebih dulu, dan menungguku di atas. Aku mengikuti jejaknya. Kami duduk bersisian. Tidak disarankan untuk langsung melompat ke tanah. Kecuali kamu pesenam terlatih, ada risiko mendarat dengan kaki terkilir.

CLAIR [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang