Chapter 21 (a)

1.9K 581 52
                                    


Di apartemen Shai, aku menemukan bahan-bahan makanan mentah di kulkas. Memasak bisa mengisi waktu, mengusir resah. Bang El meneleponku, kami mengobrol ringan selama setengah jam. Selingan yang mengembalikanku ke dunia normal. Pukul 20.00, aku makan sendiri. Menyisakan nasi dan lauk pauk untuk Shai di meja. Walau aku yakin ia tidak akan pulang malam ini.

Aku masuk ke kamar. Berdiri di dekat lemari. Pintu rahasia ke ruang bawah tanah. Ada peti mati itu di sana. Shai menyebutkan tempat itu. Semacam undangan buatku untuk turun kalau mau. Hmm ... aku mau. Masih banyak pertanyaan. Aku perlu jawaban.

Clair menemukan dengan mudah mekanisme untuk menggeser dinding. Pintu terbuka, tampak tangga berputar ke bawah. Gelap. Kutemukan saklar lampu di dinding pada tiga undakan ke bawah. Seketika ruangan menjadi terang, dengan dengung lembut blower di langit-langit. Sirkulasi udara terhubung dengan ruangan di atasnya. Ruangan tanpa jendela ini tepat berada di bawah kamar tidur dan ruang duduk. Aku mengukur getaran sebelum masuk lebih jauh. Kuat, bermacam-macam, tapi tidak menyakitkan. Aku tahu sebabnya.

Peti mati itu tidak tergeletak sembarangan seperti yang kubayangkan. Tapi disulap menjadi balai-balai berlapis bantalan empuk. Pelan-pelan, aku menyingkap kain di salah satu sisi. Tampak kotak tebal tembus pandang yang cukup meredam getaran peti mati di dalamnya.

Shai melakukan semua ini untukku, untuk menuruti permintaan Aidan? Aku terharu, merasa istimewa. Tapi apa sebetulnya yang mereka lihat pada diriku, atau apa yang telah kulakukan untuk mereka? Jawabannya kuharap ada di sini.

Di tengah ruangan, ada meja kerja panjang tempat si kembar belajar, main game, dan kadang makan. Aku mencoba membedakan mereka. Bekas luka di pelipis sesekali terlihat. Tanpa tanda itu, aku mulai menangkap peran dan kebiasaan masing-masing. Yang sering menjadi tutor dan juru masak itu Shai. Yang sering memulai canda adalah Aidan. Aidan juga yang sering mempertanyakan status Shai sebagai kakak. "Surat keterangan kelahiran kita terlalu aneh untuk menentukan siapa yang lahir duluan," katanya.

Aku jadi penasaran. Clair menemukan salinan surat yang dimaksudnya di dalam folder tanpa label. Memang aneh. Tanggal lahir mereka sama, 15 Oktober 19 tahun lalu. Waktu lahir terpaut dua jam, Shai lebih dulu. Tapi nama ayah dan ibu berbeda, dan mereka lahir di alamat berbeda pula. Kok bisa?

Kukeluarkan surat dengan hati-hati dari plastiknya. Milik Shai menguarkan emosi lebih pekat. Kenangannya membuatku terkejut. Shai sedang berbicara dengan aku, Rhea kucel dan kotor. Sepertinya pada hari yang sama aku bertemu Aidan, saat ia kehilangan Koda.

"Kamu tahu aku bukan Aidan segera. Kamu sudah tolong aku found Aidan again. Sekarang, dapatkah tolong aku tentang ini?" Bahasa Indonesia Shai kacau, dengan aksen asing. Tapi aku mengerti maksudnya. Tanpa tes DNA pun, ia yakin, mereka bersaudara kembar. Hanya surat keterangan kelahiran tidak mendukung. Ia pengin tahu orangtua mereka yang sebenarnya.

Aku memegang surat itu. "Mana punya Aidan?"

Aidan muncul terengah-engah. "Ini surat kelahiranku. Kamu bisa bantu? Eh, kamu mengerti apa yang diminta Shai? Maafkan dia, kalau kedengaran aneh. Belajar bahasa Indonesia sendiri selama sebulan sebelum ke sini. Aku harus mengajarinya lagi nanti. Bakal kerja keras." Aidan tertawa, menonjok bahu Shai main-main.

Aku membelalak. Aidan tidak memegang surat kelahiran Shai saat itu. Tapi aku ingat kata-katanya. Aku melengkapinya sendiri dengan kenangan yang terkubur. Ya, aku telah mengingat sepenggal. Tanganku gemetar. Aku harus bisa mengingat lebih banyak lagi. Tanggal 1 Januari, kejadian terpenting bukan hanya dengan Aidan, tapi Shai juga. Kurasakan labirin otakku berdenyut, bergerak, meliuk. Aku mencari-cari pintu ingatan seputar waktu itu. Keringat dingin mulai merembes. Aku menggigil. Rasanya seperti sudah berada di depan pintu, tapi saat kubuka, lebih banyak labirin di dalamnya.

Sia-sia. Harus lewat benda-benda yang berkaitan. Surat-surat ini. Aku menarik napas dalam-dalam. Menenangkan jantung. Kembali mengandalkan Clair. Kukeluarkan juga surat kelahiran Aidan. Kupegang keduanya.

"Nama orangtua Shai, Russel Han dan Fanie. Kenapa enggak tanya mereka?" Aku bertanya. Dijawab Shai, ayahnya sudah meninggal dan ia tidak pernah mengenal ibunya. Pernah tinggal bersama kakek, lalu paman, lalu bibinya, tapi tidak ada yang bisa memberikan penjelasan.

"Nama orangtua Aidan, Rasyid Hanafi dan Budhiastuti. Kenapa enggak tanya mereka?"

Aidan menjawab. "Ayahku sudah meninggal juga. Aku enggak pernah kenal. Bundaku sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Jangan nambah masalah buat Bunda."

"Russel Han dan Rasyid Hanafi bisa jadi orang yang sama," kataku. "Kalian pasti sudah menduga itu. Tapi memang enggak membantu karena sudah tiada. Tinggal satu jalan. Bundamu, Aidan. Enggak usah tanya-tanya. Aku pegang saja tangannya. Bawa aku ke bundamu."

Surat dikembalikan.

Tak ada lagi kenangan yang bisa digali. Ingatan terkubur tetap terkubur.

Aku termangu-mangu. Mungkin aku berhasil memastikan orangtua mereka sama. Shai menemukan ibu dan kembarannya. Aidan menemukan Shai. Karena itukah si kembar begitu terikat denganku? Clair banyak membantu orang tapi baru kali ini ada yang jatuh cinta.

Dengan terhuyung aku berdiri, mengembalikan folder ke tempatnya. Saat menunduk, darah menetes ke lantai dari hidungku. Aku menemukan tisu di kamar mandi. Cermin di situ pun sudah dibalik. Shai benar-benar memprediksikan aku akan ke sini.

"Baiklah, rahasia apa lagi yang ingin kalian tunjukkan?"

"Jangan memaksakan diri, Rhe!" Kenangan Shai mencegahku.

"Mungkin kamu ingin tahu sejarah peti mati itu. Aku sudah riset." Kenangan Aidan muncul dengan senyum sempurnanya.

"Hai, Aidan, aku senang kamu ada di sini juga." Aku mengulurkan tangan, menyentuh pipinya. Bagaimanapun aku lebih akrab dengan sosok kenangannya. Di saat yang sama, aku tahu betul, tidak akan lama lagi aku harus merelakannya pergi. Isi dadaku terpelintir.

Folder berisi printout ditunjukkannya padaku. Shai berusaha menghalangi. "Belum waktunya!"

"Shai, biarkan dia baca. Membaca kan beda dengan masuk ke dalam peti."

"Kamu enggak tahu pasti. Ingat saja gimana Rhea waktu kita sebut-sebut Koda, surat kelahiran, dan kenangan Bunda yang dibacanya di rumah sakit!"

"Ya, dia mimisan dan pingsan. Tapi kukira itu akibat hal lain. Dia baru pulang dari suatu tempat. Enggak begitu jelas, tapi polisi-polisi itu bicara tentang TKP Lilo."

"Apa pun itu, hati-hati. Sudah cukup menyedihkan dia enggak ingat masa kecilnya."

"Wah, jadi kalian berdua suka ngomongin aku di sini?" Kusela mereka. "Sepertinya aku benar-benar ember bocor waktu ketemu kalian pertama kali ya? Semua tumpah. Aku enggak ingat kenapa aku berkeliaran dalam keadaan kucel. Selagi korslet pun, aku masih ketemu lagi dengan kalian? Memangnya Tante Fang enggak mengisolasi aku? Oh, ya, waktu itu efek samping Clair belum ketahuan benar."

"Tapi dia ingat janjinya padaku sebelum pingsan." Aidan melanjutkan bicara kepada kembarannya. Matanya berpendar indah. "Dalam kondisi seperti itu, dia masih memikirkan orang lain. Dia masih ingat aku. Kupikir, enggak ada yang namanya cinta instan. Tapi aku merasakannya."

"Aku janji apa?" selaku lagi.

Shai melempar Aidan dengan remasan kertas. "Kamu dengan mitos 1 Januari-mu! Jangan lebay. Akhirnya, Rhea enggak ingat kita, enggak ingat kamu. Harus mulai dari awal lagi."

"Oh, aku enggak keberatan mulai dari awal lagi. Love will find a way."

Mukaku sudah panas. "Kalian benar-benar mengabaikan aku. Baiklah, lanjutkan saja. Aku cari jawaban sendiri." Aku membuka-buka printout tentang peti mati. Hanya perlu tahu sedikit. Kalau berat, aku akan langsung berhenti.


---lanjut part b

Jangan lupa, minimal vote ya. Lebih bagus lagi komen.

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now