Chapter 18 (b)

1.9K 587 72
                                    

Ia menghentikan mobil. Tampak bingung bagaimana memastikan kondisiku tanpa menyentuh. Aku menutup mata rapat-rapat. Sesaat kemudian kurasakan sapuan handuk di mukaku.

"Kamu berkeringat banyak," bisiknya, dekat sekali. "Kamu demam. Perlu minum obat dan tidur yang lama."

"Ya, itu saja yang kuperlukan."

Mobil diputar balik. Aku membuka mata dan mengamati jalan. Penglihatanku masih buram oleh denyutan tak nyaman di belakang kepala. Tapi aku bisa menahannya. Beberapa saat kemudian. "Kita mau ke mana?" tanyaku, tidak tahan dengan kesunyian yang menekan.

"Pulang."

Aku menoleh kepadanya, mengangkat alis. "Aku enggak pengin ke kosan."

Ia mengangguk. "Home is where your heart is. Pulang berarti kembali ke tempat kamu meninggalkan hati."

Aku tersenyum, merasa yakin ke mana ia akan membawaku. Tapi di depan gedung apartemen Aidan, mobil hanya melambat sebentar untuk melaju lagi. Aku duduk tegak. Ini bukan jalan menuju rumah Tante Fang pula.

"Plan B, ke apartemen satu lagi," katanya menjelaskan. "Rumah juga tempat kamu merasa aman di dalamnya."

Aku hanya mengangguk. Dugaanku, ia batal masuk karena melihat mobil Kei dan River di parkiran. Siapa pun dia, sangat wajar menghindari keduanya. Selain alasan keamanan, perasaan bersalah sebagai survivor terlalu berat untuk ditanggung.

"Aku akan menemui mereka kalau the Lark sudah tertangkap," katanya pelan. "Biar mereka enggak cemas, kamu kabari saja. Juga tantemu. Tapi tolong, jangan bilang kamu bareng aku."

Kukeluarkan ponselku. Lowbat. Tapi masih bisa mengirimkan dua pesan seragam kepada Kei dan Tante Fang. "Aku baik-baik saja di kosan. I'll call you tomorrow." Aku membacakan isinya. Demikian pula balasan yang kuterima. Senada, menyuruhku istirahat.

Mobil memasuki parkiran Apartemen Taman Perwira. Sudah kuduga. Tapi tak urung jantungku bertingkah dan membuatku gugup. Apakah mau tidak mau aku jadi tahu siapa yang ada di sisiku? Rumah sedikit banyak menunjukkan identitas penghuninya tanpa perlu Clair turun tangan. Aku juga akan bertemu kerabat si kembar, Mr. Shai Kiowa. Aku yakin, lelaki tua itu juga figur penting bagi mereka selain Bunda Dhias.

Kuikuti langkahnya yang panjang-panjang. Ia menyadari usahaku menjajari, lalu melambatkan jalannya. Rasanya seperti déjà vu. Rasanya seperti mewujudkan kembali kenangan-kenangan dari kotak kalengku dalam satu sosok solid. Sebelum aku sadar, tanganku sudah terulur untuk menyentuhnya. Ia tengah berkutat dengan kunci yang macet. Apakah ia akan mendorong daun pintu dengan kakinya? Stop it, Rhea. Segera kutarik lagi tanganku sebelum ia menoleh. Kupejamkan mata pula. Aku tidak mau lihat.

Ia sudah membuka pintu lebar-lebar, menyalakan lampu. "Silakan masuk. Apartemen ini lebih kecil dari apartemen Aidan. Dari namanya, sudah jelas lebih banyak jejak Aidan di sana. Tapi di sini, kamu akan mendapati jejak kami berdua, sama banyak. Makanya aku tidak terlalu khawatir. Feel free to touch anything. Walau saranku sih, sebaiknya kamu istirahat."

Aku masuk, menghidu aroma segar pengharum ruangan. Lalu mataku menangkap kekembaran di mana-mana. Dua sofa panjang, dua pot tanaman indoor yang segar terawat, dua lukisan berpigura, foto-foto anjing kembar di atas kabinet, dapur yang bersih dengan mug kembar, piring kembar, pintu kulkas dengan dua deret tempelan kertas berisi pesan dan nomor-nomor hape. Di kamar, twin bed dengan seprai dan selimut yang sama, di atasnya ada foto si kembar, masing-masing memakai seragam DIHS.

Kesan pertamaku, homey untuk pasangan kembar yang ingin benar menyatakan diri kembar, tapi hanya bisa di dalam sini. Sementara banyak pasangan kembar di luar sana menolak disama-samakan.

Lalu rasa sedih itu menyelinap ... saat ingat, apartemen ini hanya tempat singgah salah satunya. Sebagian besar waktu mereka terpisah, hidup sendiri-sendiri. Lonely ... Aku menggigit bibir.

"Bajumu kotor. Aku carikan ganti yang aman." Ia masuk ke kamar tidur, hanya ada satu di apartemen. Pintu tetap ia biarkan terbuka. Aku mengikutinya masuk. Ada kursi roda di sudut, ada tongkat, jas, topi, dan syal, di dalam lemari yang ia buka.

"Ke mana Pak Shai Kiowa, kerabat kalian?" Aku tidak tahan lagi untuk bertanya. Siap mendengar jawaban menyedihkan, seperti ... dirawat di rumah sakit.

Ia tertawa kecil. "Don't believe everything you heard. Apalagi yang dimodif dengan voice modulator."

Astaga! Satu kepingan puzzle jatuh di tempatnya yang tepat. Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Nyaris saja kuserukan fakta yang baru saja terpapar. Itu hanya akan memicu rangkaian pemikiran dan analisis, lalu membawaku pada kesimpulan yang justru kuhindari sekarang ini. Beri ia waktu sampai besok siang. Beri aku sendiri waktu sampai ... entahlah.

"Ini, pakailah. Kami beli online, sayangnya stok tinggal satu, jadi belum pernah dipakai siapa-siapa. Masih menunggu mereka bikin lagi." Ia menyodorkan piyama biru bergambar anjing yang mirip Koda. Cute. Tapi mataku mendadak perih. "Kamu mau mandi? Ada air panas. Aku siapkan dulu sebentar." Ia lari ke pintu satu lagi.

Aku memeluk piyama itu, berjongkok, dan terisak pelan. Dibeli berdua. Cuma ada satu. Belum pernah dipakai siapa-siapa. Melanggar aturan kekembaran. Dulu. Sekarang? Kalimat-kalimat yang memelintir jantungku melebihi apa pun seharian ini.

"Hey ...." Ia sudah muncul lagi. Memanggilku tapi tidak menghadapkan wajahnya padaku. Sikap tubuhnya seperti anak kecil yang sedang menunggu hukuman.

Air mataku semakin deras. Rasanya ingin lari dari sini. Aku tidak kuat. Tapi bakal lebih berat lagi kalau harus melukai hatinya. Jadi, kuusap mataku. Berdiri. "Aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Tidak ada cermin di kamar mandi, kan?"

"Ada. Tapi sudah kubalik. Handuk dan sikat gigi baru ada di rak di dalam."

Aku mengangguk. "Terima kasih." Berjalan melewatinya. Lalu berhenti. "Aku enggak bakal lama-lama. Kamu juga perlu mandi. Kayaknya kita melewati tanah yang baru dipupuk dan disiram."

Ia mengendus diri sendiri. Tertawa. "Kompos."

Di pintu kamar mandi, aku berhenti lagi, menoleh kepadanya. Ia sedang memandangiku lekat. Dan kami bertatapan. Aku berfokus pada mata, jendela jiwanya. Menjenguk ke dalam, jauh ke dalam. Aku tidak peduli lagi dengan pelipisnya, atau siapa pun namanya. Ada sosok tunggal di depanku, yang pernah dan masih kurindukan, dan itu sudah cukup. "Kamu enggak perlu pakai hoodie lagi kalau mau. I'll be fine."

Tapi ia tidak baik-baik saja. Dengan cepat ia berbalik. Tidak menjawab. Aku hanya sempat menangkap kilau air mata yang tergenang.

Aku mendesah. Pada akhirnya, aku menghabiskan setengah jam di bawah guyuran shower. Bunyi air dan hangatnya menyembunyikan tangis dan aliran air mata. Aku harus kuat untuk Aidan dan kembarannya. Aku harus bisa mengendalikan reaksiku. Bukan salahnya ia menjadi yang selamat. Bukan salah keduanya memiliki wajah identik dan tumbuh terpisah. Sky Lee (atau boleh kusebut Shai Kiowa?) tidak salah juga ketika memilih menjadi saksi demi seorang sahabat. Aidan akan melakukan hal yang sama untuk Kei dan River. Sudah adakah yang mengatakan itu kepada yang tersisa? Mampukah aku, berbicara dan memandangnya tanpa menyiratkan pilihan?

Dengan piyama kebesaran yang celananya kulipat hingga betis, lengan hingga siku, aku bergegas keluar dari kamar mandi. Sunyi. Bagaimana aku memanggilnya? "Aidan! Shai! Kamu di mana?"

Tidak perlu waktu lama untuk tahu aku sendirian di apartemen kecil ini. Panggilanku tidak bersambut. Mendadak aku dihinggapi rasa takut yang melumpuhkan. Bagaimana kalau ia diculik? Tapi tidak ada tanda-tanda pergulatan. Pintu depan bahkan masih terkunci dari dalam. Apakah aku sedang bermimpi? Atau aku mengalami korslet otak terparah sepanjang sejarah sampai berhalusinasi begini? Bagaimana kalau sebetulnya tidak ada Aidan atau Sky Lee atau Shai Kiowa yang menyelamatkan dan membawa aku ke sini? Bagaimana kalau ia cuma sosok khayalan yang kuhidupkan akibat stres?



-------------- lanjut satu bagian lagi --------------

vomment, jangan lupa.





CLAIR [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang