Chapter 2

4.5K 817 439
                                    

Mereka adalah geng cowok yang akhir-akhir ini populer di sekolah. Masing-masing sudah populer, tapi ketika bergabung, popularitas itu melejit. Tidak ada yang tidak kenal B3, Brotherhood of Broken Boys, dengan enam anggotanya. Entah apa yang broken, karena di mataku, mereka semua baik-baik saja, tipikal cowok ganteng, pintar, kaya, dan berpengaruh. Mungkin kalau kusentuh satu-satu, aku akan tahu rusaknya di mana. Tapi itu kurang kerjaan banget.

Fokusku sekarang adalah mengutarakan maksudku kepada Chandrawinata Neru dengan cara wajar agar tujuan tercapai. Aku bakal lega kalau bisa bersikap malu-malu atau tergagap-gagap, layaknya cewek normal di hadapan cogan-cogan ini. Masalahnya, aku bukan cewek seperti itu. Dan Neru sudah beringsut mencari perlindungan di belakang tubuh tinggi besar si indobritish bernama Wynter. Lainnya kompak memandangku dengan ekspresi jeri.

Aku memutar mata. Whatever. Aku adalah aku. Normal dan wajar sudah lama terhapus dari kosakata untuk mendeskripsikan aku.

"Chandrawinata Neru! Kamu apanya Chandrawinata Keiran?" Itu pertanyaan pembuka. Sumpah, seisi kantor polsek bakal bilang aku pakai suara biasa-biasa saja. Tapi keenam cowok itu berjengit kaget.

"Eh ... anu ... aku ...." Neru tergeragap. Semakin tampak khawatir. "K-k-kamu mau apa tanya-tanya soal kakak sepupuku?"

"Neru!" Teman-temannya mendesiskan teguran. Terlambat. Ia sudah memberitahu.

"Ha! Dugaanku benar!" Aku menggerakkan tangan kanan yang bersarung. Gembira, tapi sepertinya semakin mencurigakan di mata mereka. Kusemburkan napas kesal. "Guys, aku cuma perlu ketemu Kei. Dia perlu bantuan. Cuma aku yang bisa bantu. Jadi, tolong beri aku nomor hapenya."

"Kei kenapa? Kemarin aku ke rumahnya, dia baik-baik saja." Neru keluar dari bayangan Wynter. Maju selangkah. Sepertinya berusaha keras menepiskan rasa jeri karena peduli saudara.

"Sahabatnya yang enggak baik-baik saja. Kei sedang di kantor polisi sekarang, tapi polisi enggak bisa bantu dia. Aku yang bisa. Bantu aku kontak Kei. Tapi kalau enggak mau kasih aku nomor hapenya, kamu saja yang telepon Kei sekarang. Bilang, aku, Rhea, bisa bantu dia untuk bantu Aidan."

Neru tercengang. Ah, terlalu banyak kata bantu yang membingungkannya . Cowok berkacamata itu memandang kelima temannya bergantian. Mereka tiba-tiba menarik Neru mundur. Saling rangkul membentuk lingkaran untuk bisik-bisik berdiskusi. Memangnya tim voli?

Aku mendecak. "Hei, apa ruginya sih, telepon Kei sekarang? Aku minta baik-baik, kok." Ya, kalau mau, aku bisa pakai cara paksa dengan meraih tangan Neru. Hubungannya dengan Kei dekat, pasti ada petunjuk yang bisa kuperah keluar. Lagipula, Neru pernah 'kubaca' sekilas tanpa sengaja. Meski mengidap OCD, anak itu aman, tidak punya memori buruk.

"M-maaf, Rhea," kata Neru, mengeluarkan ponsel, tapi tidak segera menelepon. Hanya menggeser-geser layar dengan gerak monoton. "Aku harus tahu dulu ... karena Kei itu kakakku, dan kamu tahu ... eh, semua orang tahu kamu ... tahu kan apa yang mereka bilang?"

Terlalu banyak kata tahu. Tapi aku mengerti. "Ya. Mereka menyebutku freak, weirdo, gypsy, witch, black aura, pembawa sial, menular ... dan entah apa lagi. Biar begitu, Kei butuh aku." Suaraku lebih lunak. Bahkan kutambahkan tawa kecil sambil mengacungan dua tangan. Apa anehnya sarung tangan? Tapi aku sampai pada situasi, apa pun yang kulakukan, hanya semakin merekatkan label aneh di mukaku.

"Aku mau telepon Kei." Neru berkata lagi. Sekarang satu tangan menggosok-gosok siku. "Tapi belum tentu Kei mau ketemu sama kamu."

"Coba sajalah. Bilang, aku bisa bantu Aidan."

Neru mengangguk, menyingkir ke ujung jembatan untuk privasi.

Kakiku tiba-tiba lemas. Pasti akibat akumulasi emosi ketimbang lari-lari tadi. Begitu saja aku menjatuhkan diri di rumput. Duduk meluruskan kaki. Tangan bertumpu ke belakang. Kutengadahkan muka ke langit yang mulai redup. Angin senja meriakkan air sungai, mengirimkan tusukan dingin melalui hoodie. Sebentar lagi magrib. Kei dan River mungkin sudah meninggalkan kantor polisi, entah sukarela atau diusir. Kalau Kei menolak menemuiku, aku yang akan mendatangi rumahnya. Akan kudapatkan alamatnya dari kantor polisi, entah dengan cara apa. Kupikirkan nanti. Tapi aku yakin, akan lebih mudah ketimbang meminta data alumni di kantor administrasi DIHS.

CLAIR [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang