Chapter 16 (a)

2.1K 548 92
                                    

Tidak! Tidak! Harusnya ada bekas luka itu. Kesimpulanku tidak mungkin salah. Demi membelaku, Aidan pernah terluka. Terlepas dari kerumitan berita tentang kematiannya, ia masih hidup dan dalam bahaya. Ia melakukan banyak hal untuk menjauhkan kami dari masalah, tapi akhirnya meminta tolong kepadaku. Hanya aku. Esok aku bertemu dengannya.

Tapi kenapa tidak ada parut? Segala teoriku gugur tanpa itu. Tidak! Tidak boleh. Tanganku merabai setiap jengkal tempat tidur. Dengan dua tangan, kupegang wajah Aidan. Kusingkap rambutnya yang luruh menutup mata. Kutelusuri dahinya, alisnya, bergeser ke pelipis kanan dan kiri. Tidak ada bekas luka.

"Kamu cari apa? Kok panik begitu?" Aidan bereaksi. Aku hanya bergumam soal mukanya yang bersih. Tawanya pecah. "Tentu saja bersih. Aku bercukur setiap dua hari sekali. Kamu sampai hafal wangi aftersave yang kupakai, kan? Sering kamu hidu di kamar mandi, juga pada bantal."

Kutelan ludah susah payah. Memandang lekat Aidan yang meringkuk. Tanganku terulur lagi, menyentuh pipinya. "Maafkan aku, Aidan. Sebaiknya kamu istirahat saja dulu. Aku perlu berpikir."

Aidan mengangguk dan memejamkan mata.

"Jangan khawatir. Bagaimanapun situasinya, aku masih menyimpan harapan untukmu. Tetaplah di sini, bersamaku," kataku, lalu turun ke lantai, duduk bersila, mengatur napas. Memanggil Clair yang berkepala dingin.

Kenangan Aidan berparut hanya ada di ruang pakaian. Tidak ada di tempat tidur.

Asumsi pertama: Setelah memiliki bekas luka, Aidan tidak pernah tidur di sini. Mungkinkah? Mengingat waktu kejadian adalah sekitar dua tahun lalu, ia masih kelas 11 dan tinggal di apartemen.

Asumsi kedua: Karena Kei dan River tidak pernah melihat luka dan parutnya, berarti yang terluka bukan Aidan. Bukan Aidan, tapi berwajah Aidan. Begitu mirip, sampai aku tidak melihat bedanya. Artinya, Aidan punya kembaran. Dan kembaran itu mengenalku. Juga membelaku, hingga terluka.

"Di mana Rhea?" Terngiang, namaku disebutnya di tengah perkelahian dengan Armand. Aku telah mengabaikan seruan itu. Kuanggap kenangan yang sudah terkontaminasi khayalan karena Aidan tidak pernah memanggilku dengan nama.

Kembaran Aidan yang menyerukan namaku. Emosi dan kecemasannya bisa kurasakan, memilin jantungku. Ya, Tuhan, aku bahkan tidak mengenal namanya.

Kukeluarkan kotak kaleng dari ransel. Kudekap ke dada. Begitu ada satu kenangan terbukti bukan bersama Aidan, berarti aku harus memeriksa semua kenangan lainnya. Kapan aku bersama Aidan, kapan dengan kembarannya. Memisahkan mereka mungkin tidak terlalu sulit. Aku hanya perlu memeriksa lebih dalam mengandalkan Clair.

Tapi mungkinkah aku memisahkan perasaanku sendiri? Sekian lama, cowok bernama Aidan membuatku jatuh cinta. Citranya ternyata merupakan peleburan dua sosok kembar yang sama-sama berarti bagiku. Tapi perasaanku bukan penjumlahan dari keduanya yang bisa dibagi begitu saja.

Ah, kesampingkan dulu perasaanku.

Sebelum ini, harapan itu bertahan kayak nyala lilin dalam embusan angin, bahwa Aidan masih hidup. Bahwa Bunda Dhias salah mengenali korban. Itu sebabnya ia meminta penyelidikan dihentikan dan mungkin juga mengoreksi berita. Tapi kemunculan kembaran Aidan mengembalikan kenyataan semula. Bukti-bukti polisi tidak bisa diabaikan. Kecil kemungkinan seorang ibu salah mengenali anak sendiri. Pemakaman sudah dilakukan dengan duka mendalam. Bunda Dhias menuntut keadilan hingga penyelidikan berlangsung tiga bulan ini. Walau akhirnya Bunda menghentikannya untuk alasan yang tidak bisa dipahami.

Satu dari kembaran itu sudah tiada.

Satu lagi masih hidup, berkeliaran secara sembunyi-sembunyi, dalam bahaya.

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now