Chapter 18 (c)

2.6K 667 316
                                    

Aku terduduk di lantai dan menangis, padahal kupikir air mata sudah habis di kamar mandi. Tiba-tiba dinding di samping lemari bergeser. Ia muncul. Mengenakan setelan sweater dan celana kaus biru, menggosok rambut dengan handuk, dan terkejut melihatku.

"Aidan! Shai!" Aku menghapus air mata dan melompat untuk memeluknya.

Tapi ia mundur. Buru-buru merapatkan handuk ke sekeliling kepala, menutup sebagian wajah. Aku berhenti semeter di depannya. Menyemburkan napas. Memanggil dengan dua nama hanya memperjelas fakta, aku tidak mau kehilangan keduanya atau salah satunya. "Maaf. Aku cuma takut kamu pergi ...."

"Oh ...." Ia seperti tidak menyangka. "Ada kamar mandi di basement. Aku mandi di sana. Enggak tahan dengan bau kompos." Ia menunjuk rongga di dinding. "Pintu rahasia ke basement rahasia, khusus milik unit ini. Keren ya?"

Aku mengabaikan komentarnya dan berkacak pinggang. "Don't. You. Ever. Leave. Me. Alone. Again!" Lalu aku keluar kamar dengan langkah mengentak. Aku benar-benar ketakutan, ia malah pamer ruang rahasia. Buat apa pula? Menyembunyikan kamar mandi? Huh .... Lalu aku tertegun. Peti mati dari Toko Bandrek diantarkan ke alamat ini. Di mana lagi benda itu disimpan kalau tidak ada di atas sini?

Ah, bukan waktunya membicarakan soal itu. Aku lelah. Dan ia ... dengan wajah cemas mengikutiku ke dapur. Handuk masih dikerudungkan di kepala. Tanpa bicara, ia menyiapkan nasi dan lauk pauk. Juga segelas air dan obat pereda nyeri untukku. Lalu hendak beranjak pergi.

"Aku lapar, tapi enggak mau makan sendiri." Aku bersedekap.

Ia berbalik dan mengambil tempat duduk di samping kiriku. Cerdas. Aku tidak bisa melihat pelipis kirinya. Walaupun aku juga tidak berniat untuk itu. Kami makan dalam diam. Lalu ... aku tidak ingat apa-apa lagi.

Entah pukul berapa, aku terbangun di salah satu twin bed, dengan selimut tebal hingga ke leher. Kepanasan, aku menyingkirkannya. Dari kain itu, terbaca, ia yang menyelimutiku, setelah menggendongku dari meja makan ke sini.

"Kamu terlalu memaksakan diri." Ia berkata sambil menata selimut. "Aku hanya khawatir kalau memorimu terganggu lagi setelah melihat apa yang kamu lihat di kamar perempuan itu. Bagaimana memeriksa ingatanmu? Bagaimana memastikan tidak ada yang hilang?" Ia mendesah, mengulurkan tangan untuk menyentuh rambutku. Membelai? Atau ... ah, ia menarik-narik sesuatu dari rambutku. Lalu geleng-geleng, tampak geli. "Baru kali ini aku melihat orang benar-benar jatuh tertidur di atas piring. Banyak nasi terperangkap di ikal-ikalmu. Aku enggak keberatan memungutinya satu-satu. Ada yang mau kamu simpan untuk kenangan?"

Aku terkesiap malu. Menarik selimut lagi hingga ke muka. Tapi tidak ada pergerakan di sebelah. Dari celah-celah kain, aku melirik ke tempat tidur satu lagi. Kosong. Seprai dan selimut masih terlipat rapi. Aku langsung bangkit. Ia meninggalkan aku lagi!

Tapi kutemukan ia tidur tengkurap di sofa di ruang duduk. Kepala terbalut hoodie biru. Aku mendengkus. Betapa takutnya ia ketahuan dengan atau tanpa parut sampai tidur dengan posisi tidak nyaman begitu. Satu kaki mencuat dari sandaran lengan. Satu lagi turun ke lantai. Tinggi badan yang nyaris mubazir kecuali untuk main basket, pikirku. Aku mengambil selimut untuknya setelah mencoba menaikkan kakinya ke sofa, tapi turun lagi begitu kulepaskan.

Aku menyerah, kembali ke tempat tidur. Menatap langit-langit. Mengingat pertanyaannya. Adakah cara untuk memastikan bahwa ingatanku masih utuh? Apa yang aku lihat di kamar Stella yang dianggapnya traumatis?

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now