Chapter 5

4.2K 706 132
                                    


Aku terjaga oleh klakson dan raungan sepeda motor di gang. Mimpiku terputus, tapi masih kuingat ujungnya dengan jelas. Aidan di depan rumah kuno, menyerahkan struk Cozy Corner kepadaku. Tersenyum hangat dan berpesan agar aku menyimpannya. Tenang saja, Aidan. Struk itu aman kok, di dalam kotak kaleng di kolong tempat tidur. Bersama benda-benda istimewa lainnya.

Ini pasti gara-gara memoriku tentang Aidan teraduk ke permukaan. Tapi kalau mimpi benar merupakan pengembangan kenangan dari alam bawah sadar, payah benar mimpiku. Kenapa tidak sekalian adegan alternatif yang menggantikan kenyataan? Misalnya, aku menerima tawaran Aidan berkeliling mengambil foto rumah, kemudian menemaninya membuat sketsa. Uuhh! Khayalanmu itu, Rhea, hentikan sebelum penyesalan semakin dalam!

Aku duduk dan mencari-cari ponsel. Kutemukan di meja belajar, berikut satu set kunci apartemen Aidan dan post it dengan tulisan Kei, "Call me ASAP when you wake up."

Ponsel menunjukkan pukul 08.10. Hari Minggu. Nyenyak sekali tidurku sejak Kei menggendongku pulang dan membaringkan aku di kasur. Aaah, drama banget. Aku membenamkan muka di bantal, malu sendiri. Semalam, saat turun dari mobil Kei, aku melorot begitu saja di parkiran.

Menyadap informasi identik dengan pengerahan energi, dan aku melakukan itu sejak siangnya di kantor polisi. Lelah tidak terasa karena tawaran Kei terlalu menggoda. Satu set kunci untuk mengakses apartemen Aidan, dengan segala isinya. Ia berikan hanya setelah yakin aku bisa dipercaya.

Aku tidak menghitung-hitung lagi risiko kalau kemampuanku diketahui Kei. Aku tidak sabar ingin bertemu Aidan dalam kenangan. Aku merindukannya. Setelah memaparkan cara kerja Clair dengan ringkas, aku nekat memegang rangkaian kunci Aidan erat-erat.

Namun, tidak terbaca memori apa pun. Aku keburu jatuh terduduk di tanah. Bisa kudengar Kei berseru-seru panik sambil keluar dari mobil. Kedua tangannya yang hangat menyentuh pipi dan jidatku. Aku tidak tahu prosesnya setelah itu, tahu-tahu aku sudah digendong Kei di punggung. Dan aku berbicara banyak ke telinganya, entah apa saja.

Ya, Tuhan, terjadi lagi! Di depan Kei pula! Aku meracau seperti orang mabuk saat energiku terkuras. Kondisi yang biasanya hanya disaksikan Tante Fang. Ia menyebut kondisi ini sindroma titik nol. Lebih keren daripada korsleting otak yang kuusulkan. Aku hanya perlu tidur nyenyak untuk memulihkan tenaga. Tapi Kei tidak tahu itu. Pasti cemas sekali. Buru-buru kutelepon cowok itu.

"Rhea! Kamu bikin aku takut semalaman!" Kei nyaris berteriak. "Enggak mau kubawa ke rumah sakit, enggak ngebolehin aku telepon tantemu. Aku enggak tahu harus gimana kecuali bawa kamu pulang ke kosan. Baju kamu lembap kena hujan. Terus kamu mengigau. Masih sempat juga mengusir-ngusir aku. Terpaksa aku tinggalin .... Tapi aku kepikiran terus."

"Itu efek samping Clair. Obatnya cuma tidur. Aku baik-baik saja sekarang."

"Syukurlah. Oh ya, kunci kamarmu aku lempar ke dalam dari jendela!"

Aku memeriksa jendela. Tidak tertutup rapat, dan kunciku ada di kolong meja. Cowok yang baik, Kei itu. Aku beruntung. Walau Tante Fang bakal marah besar kalau tahu aku sudah mempertontonkan kekuatan sekaligus kelemahanku pada orang lain. Tapi ia tidak perlu tahu.

Ajaib juga aku masih bisa menyuruh Kei pergi. Kamarku terlarang buat orang lain, apalagi cowok. Pertama, tentu saja tidak patut. Kedua, kamar ini adalah tempat istirahatku secara harfiah. Harus steril dari kenangan orang lain, kecuali yang bisa kukendalikan, seperti benda-benda dalam kotak kaleng itu. Kei jadi yang pertama. Untungnya, ia tidak banyak menyentuh barang-barangku dan meninggalkan jejak memori. "Terima kasih, Kei. You did the right thing. Apa pun yang aku ocehkan semalam, lupakan saja. Pasti gaje."

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now