Chapter 11 (a)

2.8K 605 87
                                    

Hola!

Chapter 11 aku bagi dua juga karena panjang. Soalnya kalau jadi satu dengan 3500 kata bakal lambat munculnya di hape kamu, malah ada risiko error.  Refresh kalau enggak ketemu. Jangan lupa masukkan daftar bacaan, share, dan tag teman-teman yang kamu tahu bakal suka Clair.

Kamu sendiri, pastiin juga sudah vomment di dua-duanya ya, sebagai bentuk dukungan penuh cinta!  ღღღღ

Thank you. Love you.

⚜️⚜️⚜️⚜️⚜️⚜️⚜️

"Aku ke rumahmu sekarang."  Kei menelepon lagi dan melewatkan basa-basi.

Sudah pukul 22.18. Paling lambat tengah malam, Tante Fang dan Bang El pulang. Setelah insiden ruang bukti, apa jadinya kalau mereka memergoki Kei di sini dan aku tengah membaca kertas berisi ancaman?

"Aku lagi di rumah Tante Fang." Kusebutkan alamatnya, mengabaikan peringatan akal sehat. "Bisa sampai di sini kurang dari satu jam? Tapi, jangan ngebut, ya!"

Lalu menunggunya menjadi momen paling menyiksa. Jantungku berpacu dengan waktu. Takut ketahuan Tante Fang dan Bang El. Tapi seperti Kei, aku tidak akan bisa tidur sebelum melakukan sesuatu dengan kertas ancaman itu. Minimal tahu siapa yang menulis.

Tanganku tiba-tiba gemetar. Kuangkat dan kupandangi. Masihkah aku punya energi untuk membaca kenangan objek? Sejak pingsan dan mimisan, aku belum beristirahat sempurna. Emosiku masih teraduk, dan kini semakin kacau. Sudah sangat sulit menerima fakta tentang Aidan, sekarang muncul ancaman pula untuk Kei saat mengikuti jejak Aidan. Toko Bandrek, semula kupikir hanya berkaitan dengan mimpiku, sepertinya berkaitan pula dengan kasus Aidan. Dan jelas sekali ada pihak yang menghendaki kasusnya tetap terkubur. Siapa? Kenapa? Mungkinkah keluarga Aidan menerima ancaman juga sehingga meminta penghentian penyelidikan?

Satu lagi yang membuat leherku tegang, orang itu tahu kegiatan Kei. Apa lagi kalau bukan membuntutinya? Bagaimana kalau terjadi apa-apa selagi cowok itu mengemudi ke sini? Seharusnya kusuruh ia pulang saja demi keamanan.

Aku sudah mondar-mandir di teras ketika Kei sampai. Setengah jam yang rasanya seabad. Tak kupedulikan angin malam yang menusuk kaus, aku menyambut Kei turun dari mobil.

"Kamu baik-baik saja?" Lega rasanya melihat cowok itu berdiri tegak, selamat. Rumah ini berada di ujung jalan buntu. Banyak mobil diparkir di depan rumah-rumah tetangga. Sepanjang jalan sepi. Tidak ada kendaraan mengikuti Kei.

Tanpa membuang waktu, ia mengeluarkan kertas itu dari saku jaket dengan menjepit salah satu sudutnya. Tangan telanjangku menyapu udara di sekitar kertas. Getarannya lemah. Atau kepekaanku tumpul? Tak terbaca apa pun. Aku memegangnya dengan dua jemari, hati-hati. Kertas dirobek dari buku spiral. Tangan pelaku .... Uh, cepat sekali bergerak. Kuambil alih benda itu dari Kei. Telapakku lebih sensitif ketimbang ujung jemari. Kertas kugenggam dengan dua tangan. Berkonsentrasi penuh. Lupakan lelah.

Buku spiral diletakkan di kap mobil Kei. Dua tangan bersarung kulit hitam. Lelaki. Tangan kiri memegang buku, tangan kanan menulis cepat, lalu merobek kertas .... Kertas diselipkannya pada wiper kaca depan. Gerakannya cekatan dan efisien. Tidak berlama-lama pula ia memegang objek.

Tidak bisa kubaca lebih luas. Hanya sebatas siku, tapi entah kenapa gerakannya familier. Aku menegang, teringat si pengoprek dasbor yang memegang kunci apartemen Aidan. Mungkinkah orang yang sama?

Kuserahkan kertas pada Kei, aku beralih pada mobilnya. Kapnya panas. Jejak si penulis ancaman itu ada pada kap, wiper, dan kaca depan. Kejadian yang sama dari sudut pandang objek berbeda. Sekilas bayangannya bahkan tertangkap spion kanan saat orang itu melongok ke dalam mobil. Hoodie hitam menutupi wajahnya. Caranya membungkuk dan mengulurkan tangan, lagi-lagi aku seperti pernah melihatnya. Di mana?

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now