Chapter 19 (b)

1.8K 536 44
                                    


"Bukan nomor sembarangan, River. Mereka tidak pernah berkomunikasi lewat ponsel, ingat? Ponsel tidak aman, tapi paling praktis dalam situasi darurat. Jadi, kalau sampai kontak lewat ponsel berarti ...."

Aku sudah menelepon nomor itu, menyalakan speaker phone, dan kuletakkan ponselku di meja. Kami menunggu dengan tegang. Pada dering kelima, panggilan diterima. Operator menyatakan nomor yang dipanggil tidak terdaftar. River memaki, Kei membungkamnya. Lalu bunyi beep sekali, dan suara wanita terdengar. Tersengal-sengal seperti orang sesak napas. Kei menyalakan perekam di ponselku, untuk jaga-jaga.

"Sky Lee ... hhh ... I am ... dying. She found me .... She didn't get anything from me. She gave me this drug ... and thought I'm already dead ... hhh ... Guess, I am much more stronger. Haha ... hhh But she might come for you. She said she got your picture .... I am sorry .... Don't trust anyone. Be safe. Hhhh ...."

Klik. Beep panjang. Kei memutuskan hubungan.

River menjerit. "Itu Stella Miller yang asli?"

Aku menelan ludah susah payah. "Stella Miller yang dipercaya Sky Lee dan Aidan selama bertahun-tahun."

"Dia ... mati dibunuh?" River membelalak.

"Kita enggak tahu. Itu pesan terakhirnya, tertanggal 5 Desember malam. Aku bisa cari beritanya. Media selalu bisa mencium kematian tidak wajar. Tapi ada kemungkinan dia selamat."

Kalimat terakhirnya tidak meyakinkan. Kami bicara tentang kasus yang sudah merenggut banyak jiwa. Tidak ada pengecualian. Stella Miller yang asli, yang diharapkan dapat memberikan penjelasan, sudah tidak ada.

Untuk beberapa saat, tidak ada yang berbicara. Sepanjang sejarah Clair menyadap kenangan, bukan baru kali ini aku mendengar suara menjelang ajal. Tapi aku tidak terbiasa. Tidak akan pernah terbiasa. Cekaman sakaratul maut selalu terasa dekat dengan leher sendiri meski hanya rekaman atau kilasan kenangan.

River berjongkok dengan air mata berlinang. "Bayangkan, aku kuliah di kedokteran, tapi enggak kuat mendengar itu."

"Kamu manusia dulu, dokter belakangan." Kei mengingatkan dengan lembut. Tangannya terulur dan disambut River.

Aku berdeham. Kembali berfokus pada urusan Stella Miller. Kuceritakan percakapan terakhirku dengan Tante Fang. "Nama Stella Miller cuma kode, bisa dipakai siapa saja yang sedang bertugas. Tapi kalau benar begitu, bukankah agen pengganti harus mengambil alih hubungan dengan Sky Lee? Harus tahu benar prosedur chat room Langit?"

"Ya, kalau Sky Lee percaya pada Stella Miller yang baru dan memberinya akses. Nyatanya, hubungan dengan kepolisian terputus. Sky Lee bahkan enggak tahu pesan terakhir dari Stella lama."

"Stella Miller yang baru enggak bisa dipercaya! Dia mungkin pembunuhnya. The Lark! Kita laporkan saja ke tantemu, Rhe! Ada bukti sekarang," desak River.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. River membelalak melihat nama penelepon. "Bunda Dhias," katanya tanpa suara. Ia menerimanya di tempat. Bertukar salam, kemudian hanya menjawa ya dan tidak. Percakapan selesai. River memandang kami, tampak takjub. "Bunda Dhias dalam perjalanan ke sini dari Jakarta. Ngajak aku makan siang bareng. Tegas cuma mau sama aku. Ini kesempatan buat tanya-tanya dia, kan? Tapi gimana dengan buku harian Aidan? Aku juga pengin ketemu Aidan atau Sky Lee di sekolah."

Faktanya, Aidan-Shai tidak peduli lagi River atau aku yang membawakan diary-nya. Hanya spesifik minta aku ada di sana saat ia datang mengambil. "Kita bagi tugas saja. River menemui Bunda Dhias. Aku ke sekolah. Kei bawa informasi tentang Stella Miller ke Tante Fang. Aku telepon dia dulu."

Tapi aku berubah pikiran. Rasanya tidak nyaman bicara dengan Tante setelah ketegangan tadi. Aku menghubungi AKPRI sebagai gantinya.

"Rhea! Sejak kapan ujian jadi alasan mangkir ke sini?" AKPRI langsung mengomel.

Aku tercengang. Bukankah aku kena skorsing untuk kenekatanku di ruang bukti Senin lalu? Atau jangan-jangan Tante Fang tidak melaporkan insiden itu! Ini perkembangan tidak terduga.

"Lima hari, ini rekor kamu enggak muncul ke sini. Kalau enggak ingat kamu mau UN, aku curiga kamu sudah kehilangan bakatmu."

Aku menanggapi candanya dengan sopan. "Enggak, AKPRI, aku sehat, Alhamdulillah. Tapi aku perlu bantuan. Kaulah satu-satunya harapanku."

Tawa AKPRI menggelegar. Tapi ia mau membantuku. Aku hanya minta waktunya untuk menerima Kei yang membawa informasi baru seputar Aidan, Sky Lee, dan Stella. Hanya untuk AKPRI, tegasku. Jelas, Stella tidak boleh dengar.

"Oke. Datanglah ke kantorku pukul 15.00. Jangan khawatir soal Stella, Fang bisa tangani."

Aku mengucapkan terima kasih. Lalu tidak tahan untuk bertanya, "AKPRI, kenapa Tante Fang percaya banget sama Stella? Tante memilih percaya dia ketimbang aku."

"Wah!" Sesaat AKPRI seperti kehilangan kata-kata. "Rhe, kita enggak bisa bicara begini lewat telepon. Kamu nanti ke sini sama temanmu, kan? Kita bisa ngrobrol banyak—"

"Enggak bisa, AKPRI. Aku ada acara di sekolah," tukasku. "Gimana dengan pengecekan identitas Stella ke pejabat yang berwenang di SPF? Aku curiga ada kebocoran —"

"Rhea!" AKPRI balas menukas. "Kamu percaya sama Fang?"

"Eh?"

"Kamu merasa enggak dipercaya, oke, apa boleh buat. Aku enggak bisa mewakili Fang sekarang, karena kami belum sempat bicara banyak. Kamu tahu sendiri, kayak apa padatnya di sini. Tapi aku bisa bilang, semua prosedur standar pengecekan untuk polisi asing sudah dilakukan. Sejauh ini, Stella oke. Bukan rekan kerja yang ideal buat Fang, tapi juga enggak bisa diusir seenaknya. Hubungan dua negara jadi taruhan. Kamu pasti ngerti. Nah, perkembangan kasus sepertinya memaksa Fang melakukan improvisasi. Tindakan dan ucapannya mungkin sulit kamu terima. Tapi balik lagi ke pertanyaanku, kamu percaya Fang? Sebagai polisi, sebagai tantemu juga?"

Aku mengerti sekarang arah pembicaraannya. "Ya."

"Kalau begitu, enggak ada masalah, kan?" AKPRI tertawa.

Aku terdiam. Dengan kata lain, Tante punya rencana yang tidak kuketahui. Percaya dan ikuti saja. Termasuk waktu bilang Aidan masih hidup. Aku tanyakan itu kepada AKPRI. "Bagaimana Tante bisa begitu yakin? Apakah ada bukti baru?"

"Itu kesimpulan Stella. Fang pasti punya alasan kenapa mendukungnya. Tapi aku mau jujur saja sama kamu, Rhe. Kamu lebih kuat dari yang kuduga. Waktu ibunya datang untuk mengidentifikasi korban, dia positif itu Aidan. Makanya, tes DNA enggak perlu dilakukan. Sampel jaringannya tetap disimpan. Walau sekarang hilang bersama bukti-bukti lainnya dalam pembobolan dini hari tadi," papar AKPRI.

"Jadi, Aidan dan kembarannya masih punya peluang yang sama?" Aku nyaris bersorak. Ini baru kesimpulan adil. Aku tidak suka kalau mereka condong ke salah satunya. Dengan perasaan lebih lega, aku berpamitan. Kei dan River sedang memandangku. "What?"

Kei menggeleng. Melanjutkan pencarian informasi dengan laptopnya sendiri.

River lebih blak-blakan. "Kupikir, Clair sudah tahu siapa yang berkeliaran di luar sana. Aidan atau Sky Lee. Tapi Rhea Rafanda menolak memastikan."

"Karena Clair enggak cukup menyentuhnya, dan Rhea pakai emosi yang enggak bisa diandalkan. Jadi, biar dia sendiri yang menentukan sebentar lagi!" sahutku, lebih tajam dari yang kuniatkan. River sampai mengkeret kaget. Aku segera beralih pada Kei dan temuannya. "Apa itu?"

"Ini situs yang mencatat kematian tidak wajar di Singapura. Ada lima kejadian pada minggu pertama Desember ini. Satu profil cocok untuk Stella Miller. Wanita dewasa, single, ditemukan di apartemennya, OD. Enggak ada nama. Tapi disebutkan secara khusus, overweight. Karena itu, dosis yang diinjeksikan tidak langsung membunuh. Koma dua hari, tapi akhirnya tidak tertolong."




----- lanjut part c ------------

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now