Chapter 22 (a)

2.1K 555 199
                                    


Ponselku ramai dengan miscal dan pesan dari Kei dan River. Mereka menanyakan keadaanku dan menceritakan perkembangan terakhir. Setelah bertemu AKPRI, Kei langsung pulang ke rumahnya sendiri, dan terserap mengoprek Langit. Sekian banyak pesannya berisi jargon teknis dan kekaguman pada Shai. River makan siang dengan Bunda Dhias, dibuat terkejut dengan rencananya, dan play along hingga ke DIHS. Ia bilang, seharusnya aku yang berada di samping Shai, karena ia merasa tidak nyaman dengan sikap kakunya.

Kubalas dengan pesan yang sama, Aku baik-baik saja. Miss you. Jaga dirimu. Lalu kuhabiskan malam itu dengan menunggu. Antara tidak ingin terjadi apa-apa dan tersiksa karena tidak terjadi apa-apa yang membuatku curiga telah terjadi apa-apa pada mereka yang kusayangi. Shai terutama. Kenapa ia tidak menghubungiku? River bilang, Shai dan Bunda Dhias tinggal di apartemen Aidan. Dekat, tapi serasa beda dimensi.

Ah, sebelum aku mulai berpikir lebay, kulanjutkan saja tidur. Masih perlu pemulihan energi. Sebelumnya, aku tidur di dipan yang mepet tembok, karena di situlah Shai membaringkan aku. Aku duduk di sana dan menyadari ini dipan Shai. Begitu saja aku memutuskan pindah ke dipan Aidan. Berbaring dengan mata terbuka lebar. Kantuk mendadak hilang. Kenangannya kuat menyeruak keluar. Mewujud seakan nyata di sampingku.

Di sini, Aidan menulis Cheesy Poem-nya, di bawah selimut dengan penerangan lampu ponsel, tidak ingin membangunkan Shai yang sudah lelap di sebelah. Ia cengar-cengir sendiri.

"Aidan, Shai enggak akan tahu kalau kamu menyebut namaku. Aku ingin dengar."

"Aku sudah janji."

"Ya, bisik-bisik sajalah. Atau katakan di mana kamu pernah terlepas, enggak sengaja memanggilku."

Keningnya berlipat. "Enggak sengaja?" Ia menggeleng.

Aku menyemburkan napas. "Kamu ternyata keras kepala. Puisi itu bikin kamu lebih manusiawi, tahu? Tapi akhirnya batal juga. Entah kenapa aku jadi kepikiran. Rasanya kamu terlalu sempurna untukku."

"Aku enggak sempurna. You know I am dying to call your name. Oh, ralat, I am dead already." Aidan tertawa.

"Candamu enggak lucu." Aku uring-uringan karena Aidan sungguh pernah berucap mirip-mirip begitu pada Shai.

"Cheer up! Aku lebih suka melihatmu tertawa."

Aku memukuli dadanya. "Jangan jadikan kepergianmu sebagai lelucon. Kamu enggak tahu rasanya ditinggalkan."

"Oke. Maaf." Aidan tersenyum. "Aku mengerti. Sakit pastinya. Tapi itu karena enggak rela. Just let me go. Lebih baik buat kamu, buat Shai ... buat aku juga."

Kata-katanya masuk di akal. Tapi aku ingin bersikeras, hanya karena aku bisa bersikeras. "Aku pengin dengar kamu menyebut namaku dulu! Kalau enggak, aku enggak bakal melepaskanmu. Itu janjiku."

"Wah! Itu janji serius. Bakal jadi beban. Jangan."

Aku masuk ke dalam selimut. Mengabaikannya.

"Hei!"

Aku pura-pura tidak mendengar. Memejamkan mata rapat-rapat.

"Hei! Kamu memang pengin dengar namamu kusebut, atau cuma alasan untuk menahanku?"

"Apa bedanya?" Air mataku sudah menggenang. Tahukah Aidan, lebih berat lagi melepaskannya setelah membaca puisi itu?

Ia menghela napas. "Baiklah. Follow me."

Aku tercengang. Kulihat kenangannya turun dari kasur. Kuikuti kenangannya dari benda ke benda. Ia mengendap-endap menuju pintu, memegang handel, menoleh sebentar ke arah kembarannya. Shai tidak bergerak. Aidan pergi ke dapur yang gelap, meraba-raba, lututnya menyenggol kursi. Matanya mulai beradaptasi. Ia mengambil sebuah buku dari laci, menyelipkannya di balik piyama. Lalu keluar dari apartemen.

CLAIR [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang