Chapter 20 (b)

2K 517 51
                                    

"Maafkan aku ...."

"Sekali lagi kamu minta maaf, aku enggak mau bicara lagi!" Aku berdecak. "Aku yakin, Aidan akan melakukan apa pun yang kamu lakukan. Kalian begitu identik."

"Sekarang waktunya go public. Aku memilih DIHS. Bunda dan River akan menemaniku. Aku penginnya kamu, tapi ...."

"Kita berdua? Itu hanya akan menimbulkan kehebohan ekstra. Salah-salah mereka jadi tahu kamu bukan Aidan." Aku tertawa. "Habis itu apa?"

"Sampai SPF berhasil menangkap the Lark, aku diminta lay low. Polisi akan menjaga semua orang. Aku, Bunda, River dan Kei, juga kamu ... eh, jangan protes dulu. Itu syarat yang diam-diam kuminta pada Iptu Fang. Dia setuju."

Shai tidak percaya Stella, tentu saja. Aku ceritakan pesan terakhir Stella-nya yang lama. Shai membenturkan kepala ke dinding belakangnya, lalu menarik tanganku untuk menutup mulutnya saat ia menjerit. Kupegang bahunya dengan tangan yang bebas. Ia menggertakkan gigi.

"The Lark must pay for everything she did! Aku sempat berpikir nekat untuk menghadapinya sendiri. Menjebaknya. Tapi Iptu Fang cukup meyakinkan. Aku ikuti rencananya dulu. Entah apa yang akan terjadi nanti. Sepertinya bakal lama kita enggak bisa ketemu. Karena itu, aku harus pastikan kamu aman. Tinggallah di apartemenku. Kamu juga harus janji sekarang. Jangan nekat menyelamatkan aku. Kalau kamu ingat insiden peti mati di Bandrek, aku enggak mau itu terjadi lagi. Mereka memancingmu dengan nama Aidan. Dan memancingku dengan namamu. Lalu kita berdua terperangkap. Berjanjilah. Apa pun yang terjadi padaku, kamu cari aman."

"Kalau sebaliknya, kamu mau berjanji juga?"

Shai tidak segera menjawab.

Aku tertawa. "Kalau begitu, jangan janji apa-apa. Kita lakukan apa yang harus kita lakukan pada waktunya."

"Just be safe. Please ... for me."

Aku mengangguk. "Kamu juga."

"Aku pergi sekarang." Ia bangkit. Membantuku berdiri. Menatapku beberapa saat, dan melepaskan tanganku. Ia membuka pintu secelah, lalu menyelinap keluar.

Aku terduduk lemas. Tidak perlu waktu lama, selasar mendadak ramai. Nama Aidan diserukan. Aku mengusap mata, lalu keluar. Anak-anak sudah memenuhi koridor. Semakin keras mereka memanggil-manggil Aidan. Di ujung selasar, pintu ruang guru terbuka. Keluarlah Miss Jansen, sambil bercakap-cakap dengan Bunda Dhias. Di belakangnya, River, yang langsung disambut ramai cowok-cowok. Pak Sam, kepala sekolah, menyusul keluar, bersama Shai.

Pekik jerit para cewek membuat telingaku berdenging. Aku terdorong ke tepi, di antara teman-teman kelas 12 yang kukenal. Mereka berceloteh tentang keajaiban, Aidan ternyata masih hidup. Kerumunan menyibak saat Bunda Dhias lewat diapit Miss Jansen dan Pak Sam. Ketiganya mengobrol dengan wajah semringah. Tapi membelok di persimpangan koridor, tidak melalui tempatku berdiri. Dikawal dua orang lelaki tak dikenal, Shai dan River berjalan sambil menyalami tangan-tangan yang terulur, menebar senyum dan sapaan. Situasi ini familier, entah berapa kali kusaksikan sewaktu Aidan-River masih bersekolah di sini. Biasanya berakhir dengan aku menjauh karena tidak merasa menjadi bagian dari pemandangan.

Tiba-tiba, bahuku ditahan seseorang, sampai aku terpaksa berbalik. Dalam pakaian sipil, Tante Fang memamerkan taring atas kanan dalam senyum lebarnya.

"Semua yang baik akan berakhir baik," kata Tante Fang, sambil membereskan rambut dan seragamku yang acak-acakan. "Sudah enggak ada pelajaran, kan? Mau pulang bareng?"

Belum sempat aku menjawab, Stella Miller muncul di sampingnya. "Hello, Rhea! Kamu kayak baru lihat hantu." Ia tertawa dengan leluconnya sendiri. "Tapi benar, Aidan kayak baru bangkit dari kematian. Hantu yang tinggi dan tampan, pantas bikin histeris. Vampir Edward Cullen pun kalah, don't you think?"

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now