Chapter 19 (a)

2K 566 76
                                    

Saat membaca suratnya, aku yakin, ia akan mengikuti prosedur yang berlaku. Mengambil kembali semua barang bukti kasus Aidan, dibantu teman lama Bunda Dhias dari kepolisian. Pembobolan tidak terpikirkan sedikit pun. Mustahil mencuri di kantor polisi yang selalu dipenuhi polisi 24/7! Kalau pembobolan terjadi juga, bukan Aidan-Shai pelakunya.

Jadi, jangan buang waktu memikirkannya. Aku menyalin instruksi ke kertas lain. Dini hari tadi, ia pasti terburu-buru sehingga menuliskannya pada kertas yang sama dengan pesan pribadi untukku. Kalau dibaca Kei dan River, identitasnya bakal jadi pembicaraan, dan sulit bagiku mengelak.

Setelah salinan beres, aku masuk ke apartemen Aidan. Tertegun untuk beberapa saat. Home is where the heart is. Ia benar. Rasanya seperti tinggal di sini. Faktanya, baru tiga kali ini aku berkunjung, sejak melihat Kei dan River berdemo di kantor polisi lima hari lalu.

"Rhea!" Kei melambaikan tangan dari meja makan yang disulap sebagai pusat operasi. Map, kertas, alat tulis, printer, dan dua laptop. Satu milik Kei, satu lagi Shai. "Kamu bawa kuncinya?"

Aku mengangguk. Menyerahkan perangkat dan kertas instruksi.

Tanpa membuang waktu, Kei menancapkan kunci pada slotnya. Laptop Shai seketika menyala dan meminta password. Pengamanan lapis pertama. Kei mengetik, blueSKY1510. "Persis seperti yang kamu lihat dalam kenangan, Rhe. Laptop ini milik kembaran Aidan, Sky Lee."

"Bagaimana kamu mendapatkan kuncinya?" tanya River.

Aku sudah siap dengan jawaban minimalis tanpa kebohongan. "Diselipkan si hoodie hitam ke tanganku selagi aku tidur."

River menjadi antusias. "Kamu lihat mukanya? Bicara dengannya?"

"Dia menolongku lepas dari Stella." Dengan singkat kuceritakan apa yang terjadi di hotel semalam. Versi yang sudah diedit, memimalisir peran Aidan-Shai. "Dia antar aku pulang, sepertinya aku dalam keadaan korslet, dan waktu aku bangun, kunci itu ada ditanganku."

"Ah, jadi kamu enggak tahu dia Aidan atau kembarannya?" River tidak menyembunyikan kekecewaan.

"Seperti biasa, dia memakai sarung tangan, menyembunyikan wajah, dan enggak pernah lama-lama memegang objek. Aku sendiri terlalu emosional, enggak menyentuh kulitnya."

Kei mengangguk, menerima jawabanku. Ia memakai headset nirkabel, menghadapi layar laptop Shai. Aku dan River duduk di kanan-kirinya. Tiga pasang mata mengamati layar 14 inci itu. Tampilannya seperti kebanyakan laptop, dengan wallpaper pemandangan langit biru. Tidak ada apa-apa di langit biru itu. Tapi instruksi kedua adalah Go to Langit. Jemari Kei bergerak lincah di atas keyboard, membuka aplikasi pencari, mengetikkan Langit, dan ia menemukannya.

Kei membaca cepat teks yang muncul di layar. "Langit ternyata tempat virtual di Internet yang diciptakan Sky Lee setahun lalu. Ia kecewa dengan kepolisian Singapura yang menurutnya rentan kebocoran. Terbukti dengan jatuhnya beberapa korban eksekusi oleh the Lark bahkan setelah kasus Big David selesai. Sky Lee melepaskan diri dari sistem perlindungan saksi SPF. Hanya satu agen yang masih ia percayai dan diberi akses kontak lewat Langit. Stella Miller. Langit juga bisa diakses oleh Aidan, adik kembarnya. Untuk pengamanan, Sky Lee membatasi pula perangkat untuk membuka Langit. Hanya tiga laptop yang terdaftar. Laptop ini, laptop Aidan, dan laptop Stella Miller." Kei bersiul. "Double tangled octopus! Luar biasa, bukan? Aku enggak menyangka."

"Ada apa di Langit?" tanya River.

"Dokumen, rekaman suara, foto, video, dan chat room. Nanti aku cek satu-satu dan bikin ringkasannya," sahut Kei. "Sekarang aku ikuti dulu instruksi berikutnya. Go to Langit ke-7. Itu chat room khusus Sky Lee dengan Stella Miller. Memerlukan password tersendiri untuk bisa naik ke setiap tingkatan. Pada langit ke-7, Bot Asisten muncul, dan aku harus mengajukan pertanyaan apa saja tanpa kata 5W+1H dalam waktu kurang dari 5 detik. Kalau salah atau terlambat, aku bakal ditendang dan sistem shut down otomatis. Hmm, cerdas! Baik! Aku masuk sekarang."

CLAIR [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang