Interlude: Struk Cozy Corner

4.2K 725 159
                                    


Kelas 10, Semester I

"Tugas untuk minggu depan, tulislah esai tentang benda atau tempat bersejarah pilihanmu. Lengkapi dengan foto objek atau situsnya. No plagiarism! No picture from the Internet. Go there and take it yourself!" kata Miss Jansen, guru creative writing, di akhir sesi pelajarannya.

Ah! Museum dan situs bersejarah! Tempat yang harus kujauhi selain ruangan penyimpanan barang bukti di kantor polisi, toko barang bekas, mausoleum dan pemakaman. Terlalu banyak objek bermuatan kenangan yang intens dalam satu lokasi. Bangunannya pun sering menyimpan memori. Secara kolektif, semua itu memancarkan getaran dengan kekuatan berlipat ganda, yang bisa kurasakan bahkan dari halamannya. Aku bisa terkena migrain parah berhari-hari kalau nekat mendekat. Jika aliran kenangan dari satu benda yang kusentuh ibarat air kran yang digerojokkan langsung ke kepala, maka tempat-tempat itu seperti air terjun. Mencari mati kalau aku berdiri tepat di bawahnya.

Pelan-pelan, aku mengangkat tangan. Semua mata di kelas 10A langsung tertuju kepadaku. Bisik-bisik. Sebagiannya tidak jelas kudengar. Sebagian lagi menyengat telinga dan hati.

Benar kan, Alea diputusin Armand gara-gara dia? Ngaku sahabat, kok bikin ricuh dan sok tahu. Kali dia sendiri naksir Armand. Lihat sarung tangannya, emangnya dia apa sih, Princess Elsa? Ada yang bilang, tangannya sensitif enggak boleh terpapar udara langsung. Penyakitnya menular enggak? Jauhin aja deh. Freak. Kenapa dia harus di kelas ini sih? Kok bisa diterima di DIHS? Iyalah, kudengar, dia apanya kapolsek gitu. Lihat saja gayanya, kayak yang kebal hukum.

"Yes, any question, Rhea?" Suara Miss Jansen mengatasi dengung kelas. Sebagai guru yang merangkap konselor BP, konon Miss Jansen hanya hafal nama-nama anak yang perlu perhatian khusus, dan ia menyebut namaku. Aku sudah masuk daftarnya. Syukurlah. Berarti Tante Fang berhasil meyakinkan pihak sekolah dengan cerita rekayasa tentang keadaanku.

"Bolehkah saya studi literatur saja, Miss? Tanpa harus ke museum?" Aku buru-buru menurunkan tangan, sebelum seisi kelas terganggu dengan pemandangan sarung tangan hitam yang kupakai.

"Tergantung objek bersejarah yang kamu pilih. Buat saja draftnya dulu, kita lihat apakah kamu bisa akurat menggambarkannya dengan hanya duduk di perpustakaan. Lagipula, kunjungan langsung dan foto objek dapat menambah nilaimu."

Aku tidak berkerberatan dengan nilai seadanya, selama perpustakaan dapat membantuku.

Dan aku tahu, buku apa yang kuperlukan. Bandoeng Tempo Doeloe. Pernah kubaca-baca sebelum ini. Di depan rak referensi, aku mencari. Ah itu dia, letaknya lebih tinggi dari kepalaku. Aku berjinjit menjangkaunya, menyentuh tangan orang lain yang secara bersamaan hendak mengambil buku itu. Terpekik, aku segera mundur. Malah menginjak kaki yang terbungkus sepatu basket. Pemiliknya mengaduh pelan.

Berbalik, kulihat dada seorang cowok. Mataku mendaki dan mendapati wajah Aidan Narayana. Kelas 11A, kapten tim basket, dan semua orang tahu betul berapa senti tinggi badannya. Sering kudengar angka 180 itu disebut, tidak ada artinya bagiku dari jauh. Tapi berdiri dengan jarak sedekat ini, untuk pertama kalinya, aku merasa kecil, baik secara harfiah maupun secara konotatif, mengingat nama besarnya.

Tidak. Kutepiskan perasaan itu. Untuk buku yang cuma ada satu dan kini dipegangnya, aku tidak akan mengalah. Tidak adil kalau ia mendapatkan buku itu hanya karena badannya lebih tinggi. Aku duluan yang sampai di sini. "Maaf. Tapi aku perlu buku itu."

Aidan tersenyum. Aku mengerti sekarang kenapa mereka histeris melihatnya. Senyumnya ... sulit untuk ditranksripsikan, aku tidak punya kosakata yang tepat, indah saja tidak cukup. "Pasti untuk tugas creative writing Miss Jansen. Tugasnya sama kayak kelas 10 tahun lalu."

CLAIR [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang