Chapter 12 (b)

2.7K 680 134
                                    


Mungkin karena aku masih butuh konpensasi tidur, otakku menangkal efek stres dengan melakukan shut down tanpa peringatan. Ketika terbangun lagi, aku sempat terheran-heran kenapa tidur di sofa dengan posisi tidak nyaman. Lalu kekhawatiran terbesar membuatku terlompat. Apakah aku kehilangan memori lagi? Kupandangi sekeliling. Di ruang duduk rumah Tante Fang. Sekarang lewat tengah hari, dan ulangan percakapan telepon dengan Kei membanjiri benak. Aku juga tahu benar apa yang menyebabkan mataku sembap. Sepertinya memoriku masih lengkap.

Harus kusyukuri. Bergegas aku mandi, shalat, kemudian kuhabiskan sisa nasi goreng pagi karena perutku berkeruyukan. Bang El bilang, kegiatan remeh-temeh pun dapat membantu merapikan kekalutan otak. Tapi aku terlalu malas untuk memasak. Besar kemungkinan, Bang El dan Tante Fang makan malam di luar, dan pulang membawakan makanan untukku. Aku memilih menyapu dan cuci piring. Tiba-tiba dering telepon bergema. Piring yang kupegang nyaris jatuh. Hanya sedikit orang yang tahu nomor rumah. Komunikasi sudah beralih ke ponsel.

"Halo?"

"Rhea!" Tante Fang terdengar histeris. Merepet tentang pesan dan panggilan berulang yang tidak kujawab. Ia mencoba kontak untuk mengajakku makan siang bersama Stella. Tapi sejak mereka memasuki restoran sampai selesai makan, aku tidak datang juga.

"Maaf, Tante, aku ketiduran ... iya, sudah bangun kesiangan lalu ketiduran lagi. Kan tahanan rumah enggak boleh keluar .... Iya, Tante. Aku lapar. Tapi enggak masalah .... Iya, nanti aku masak .... Oke, aku hubungi Bang El ...."

Setelah yakin aku baik-baik saja, Tante Fang memutuskan telepon. Aku mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Bang El dulu. Dia tidak perlu buru-buru pulang hanya karena Tante Fang panik. Fokuslah pada calon istri, beri aku ibu angkat, tambahku dengan emoticon cengiran lebar.

Dua pesan dari Kei. Pertama, ia meminta maaf karena tidak peka. Terlalu senang bukan River yang ditaksir Aidan, sampai lupa implikasinya kalau Aidan suka aku. Mataku sudah panas lagi membaca yang tersirat. Suka aku, what's the point now?

Pesan keduanya tentang laptop Aidan. Tidak bisa diservis karena memang tidak ada yang rusak. Sepertinya, Aidan menggunakan lock system yang mematikan laptop. Kei perlu ke apartemen untuk mencari perangkatnya. Tapi karena kunci apartemen ada padaku, ia menunggu aku bisa ke sana. Mungkin besok, sepulang sekolah, I'll call you. And I forgive you. Kukirim dengan emoticon peace.

Dua pesan lagi dari nomor asing yang sama dengan jarak satu jam.

Rhea, call me, please.

Rhea, where are you? I need to talk with you.

Dan di antara dua pesan itu kutemukan tiga miscall-nya. Hmm ... siapa yang begitu bernafsu ingin berbicara denganku? Karena dia tahu namaku, kupikir tidak ada salahnya kutelepon balik.

"Rhea! Oddio, akhirnya!" Suara River. Langsung memberondongku dengan cerita yang tidak runut kenapa ia harus ganti nomor ponsel dan kenapa menghubungi aku alih-alih Kei.

Demi logika, aku menyusun ulang kalimat-kalimat River. Jadi, seseorang telah mengiriminya pesan kaleng ke ponsel kemarin sore. Orang itu memerintahkan agar buku harian Aidan dimasukkan ke loker umum di Stasiun Bandung. River diberi waktu 2x24 jam. Kalau tidak, River disebutnya pencuri dan akan diberi pelajaran setimpal.


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now