Chapter 17 (c)

2.3K 601 199
                                    

Demi Aidan dan kembarannya, aku mencoba bertahan dengan tampang polos. Terkekeh karena candanya. "Kloning? Anda kebanyakan nonton sci-fi kali."

Stella tergelak.

Untungnya Tante Fang sudah kembali. Ia duduk dan mengambil tangan kananku untuk digenggam. Telingaku mendengar ia bilang taksi sudah siap di depan, hati-hati di jalan. Tapi indra Clair menangkap informasi lain. Tante Fang menunjukkan tanda pengenal penyidik polisi kepada manager, meminta kerja samanya. Ia perlu akses ke kamar Stella dari pintu belakang. Manager setuju untuk membantunya.

Tante Fang melepaskan tanganku. "Telepon aku kalau sudah sampai," katanya, tetap menggunakan bahasa Inggris. Ia tidak ingin Stella curiga. "Kalau dalam setengah jam kamu lupa, aku yang telepon. Kamu harus angkat!"

"Siap, Kapten." Aku menyandang ransel di punggung dan menghormat. Kuharap, setengah jam cukup untuk mengubek-ngubek kamar Stella. Setelah berpamitan pada Stella tanpa menyalaminya, aku bergegas keluar dari hotel. Seorang petugas sudah menunggu. Ia mengantarku melalui pintu khusus karyawan, naik dengan lift barang ke lantai dua. Lorong sepi. Sepatu kets-ku tidak bersuara menapaki karpet tebal. Kamar Stella nomor 229, dekat dengan lift tamu. Pengantarku pergi setelah membukakan pintu dengan kartu kunci master, yang dibawanya lagi.

Aku masuk. Gelap. Si petugas tidak memberiku kartu untuk menyalakan lampu. Biasanya, kartu apa pun bisa dipakai. Aku memeriksa dompetku dan menemukan kartu diskon minimarket dekat kosan. Kusisipkan kartu itu pada slot di dinding, ruangan seketika menjadi terang dan hidup dengan suara keras dari layar kaca. Buru-buru kumatikan televisi. Lalu aku terpaku memandang sekeliling. Tidak seperti adegan di film-film, menggeratak kamar orang secara ilegal bukan hal mudah. Dadaku sakit oleh entakan liar jantungku. Cukupkah waktuku? Kunyalakan alarm untuk 27 menit ke depan.

Apa dulu yang harus kuperiksa? Bagaimana kalau Stella tiba-tiba masuk? Ke mana aku lari?

Mungkin lewat balkon itu. Aku membuka pintu geser untuk memeriksa keadaan. Sekitar dua meter di bawah balkon, ada gundukan taman dengan rumput dan rumpun bunga. Tanah kemudian melandai, menjorok masuk entah ke mana, tidak terlihat dari sini, meski aku sudah membungkuk lewat birai. Bagus, kalau aku tidak sempat lari lewat pintu, aku bisa lompat dari sini dan menggelinding ke bawah, menghilang dari pandangan pengejar.

Kubiarkan pintu balkon terbuka, masuk lagi ke kamar. Ukurannya standar. Rapi, seperti baru dibenahi room service. Corak bed cover sama dengan yang kutangkap dari kenangan brosur.

Di sisi meja, ada koper kecil terkunci. Kuraba sekeliling bagian luarnya. Isinya hanya pakaian. Aku beralih pada tas tangan yang biasa dibawa-bawa Stella. Tergeletak di nakas. Hati-hati, aku membongkar isinya ke tempat tidur. Paspor merah Singapura, atas nama Stella Liu-Miller. Wajah cantik Stella menghiasi halaman identitas. Asli. Tidak ada dompet uang ataupun dompet badge polisi. Pasti dibawa Stella. Ada sebuah kotak berisi botol-botol kuteks enam warna. Sebuah buku catatan penuh tulisan dengan huruf-huruf China. Are you kidding me, Stella? Aku tidak bisa membacanya, meski Clair bisa menduga ini catatan harian. Kukeluarkan ponsel dan kufoto beberapa lembar terakhir. Tante Fang bisa mencarikan penerjemah kalau perlu.

Kumasukkan lagi semuanya dengan rapi. Tas kukembalikan ke nakas. Aku kemudian beranjak ke lemari. Untungnya, tanpa kunci. Pakaian bergantungan. Di bawahnya ada sepatu boot tinggi model army. Aku menyentuhnya dan berjengit kaget. Dengan sepatu itu, Stella berlari, bergulingan, menendang, menginjak dada orang, bahkan menghunus pisau dari bagian betis kanan dan kiri. Tidak ada pisau sekarang, tapi kutarik tanganku. Gerakan Stella dengan sepatu ini membuatku terintimidasi.

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now