Chapter 14 (a)

2.4K 543 64
                                    

Awalnya, Kei tampak begitu lega melihat aku baik-baik saja, duduk di sudut Kafe Bandrek menunggunya. Ia mengempaskan diri duduk di depanku. Tanpa permisi, cowok itu meraih jus jerukku yang masih separuh dan menenggak habis. Setelah itu, ia menatapku gusar. Tidak ada si babyface yang murah senyum.

Aku telah mengabaikan kata-katanya. Pergi sendiri ke sini dan membuatnya khawatir. Kei tidak bisa berkonsentrasi kuliah, lalu pamit ke dosen dengan alasan darurat. Di mobil pun, Kei tidak berbicara. Fokus mengemudi seolah jalan di depannya bakal hilang kalau ia menoleh kepadaku. Kupikir, Kei lebay. Orang yang menulis ancaman terbukti tidak muncul siang-siang. Tapi itu hanya kukatakan dalam hati. Marahnya membuatku gentar dan lumer sekaligus.

Ia perlu waktu. Baiklah. Aku duduk diam, melipat tangan di pangkuan. Sementara isi kepalaku teraduk. Fakta dan dugaan bercampur baur. Tadi sambil menunggu Kei, aku mencoba menuliskan pemikiran di buku catatan. Akan aku bicarakan dengan Kei setelah kemarahannya reda.

Insiden peti mati benar-benar terjadi. Armand dan Alea terlibat. Mereka menjebakku untuk masuk ke kamar berisi benda-benda kuno, dan seseorang mendorongku masuk ke dalam peti mati. Aidan mencari-cari aku, berkelahi dengan Armand hingga dahinya terluka. Luka yang mungkin meninggalkan bekas. Aidan kemudian menemukan aku. Terbukti dari kata-katanya yang menyeruak mimpiku:

"Hei, jangan sedih. Mereka enggak layak jadi temanmu. Kamu terlalu istimewa. Dan ingat, kamu enggak pernah sendirian. Ada aku. Jangan sedih lagi. Sssh, tidurlah dulu. Aku jagain sampai jemputan datang."

Detailnya, aku tidak ingat. Kenangan mengerikan di dalam peti mati telah memicu mekanisme perlindungan otak, dan puff! Semua kejadian di hari itu terblokir. Lalu, akibat kenangan emosional dari kasus Aidan, secuil memori terbangkitkan.

Insiden itu, kukira, terjadi sebelum Armand dan Alea keluar dari DIHS, aku masih kelas 10.

Tidak ada seorang pun menyinggung-nyinggung peristiwa itu. Berarti tidak ada yang tahu selain yang terlibat. Armand dan Alea memilih bungkam lalu pindah sekolah. Bahkan Aidan merahasiakannya. Membiarkan aku tidak ingat. Kenapa?

Apa yang diketahui Kei dan River soal itu? Dahi Aidan yang terluka tidak mungkin disembunyikan begitu saja, bukan?

Dan jauh sebelum insiden peti mati, sekeping memori yang begitu berharga juga lenyap. Kenangan bersama Aidan dan Koda di kantor polisi pada 1 Januari sebelum aku masuk SMA. Trauma apa yang membuat otakku mengubur kejadian hari itu? Kenapa Aidan membiarkan aku lupa?

Tante Fang dan Bang El sepertinya tidak menyadari fenomena itu. Bahwa ada memoriku yang hilang setelah aku tumbuh besar, bukan hanya di masa kecil. Kalau tahu, mereka pasti bereaksi keras, dan Clair sudah dipensiunkan sejak dulu.

Tante Fang mungkin tahu apa yang terjadi pada 1 Januari tiga tahun lalu. Tapi bertanya padanya sekarang bukan ide bagus. Bakal ada interogasi balik, dan Tante Fang akan tahu aku menyelidiki kasus Aidan. Percuma aku berbohong, Tante Fang seperti punya detektor alami.

Lantas, apa aku harus abaikan saja fakta bahwa aku sudah bertemu Aidan sebelum masuk SMA? Mungkin tidak ada kaitannya dengan kasusnya sekarang, tapi jelas akan terus mengusik hati dan pikiran. Clair tidak akan berfungsi baik kalau begitu.

Aku harus mengambil risiko. Kalau tidak Tante Fang, asistennya mungkin bisa membantu. Bripda Astri biasa menerima teleponku untuk urusan remeh temeh kalau Tante Fang tidak bisa kuhubungi. Sekarang aku berpura-pura menanyakan jadwal Tante pada 1 Januari nanti. Aku ingin Tante hadir sepenuhnya pada hari ultahku.

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now