Chapter 3

4.6K 795 256
                                    

Pukul 19

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pukul 19.30, aku masih berdiri di depan lemari pakaian yang terbuka lebar. Harusnya mudah. Biasanya juga mudah. Tidak perlu pilih-pilih. Ambil dan pakai, selesai perkara. Di luar seragam sekolah, aku hanya punya tiga lembar t-shirt: putih, abu-abu, dan hitam; tiga buah hoodie: putih, abu-abu, dan hitam; tiga celana panjang: putih, abu-abu, dan hitam. Itu saja bisa jadi 27 setelan dengan kombinasi berbeda. Menyederhanakan pilihan untuk segala macam kesempatan. Praktis.

Demikian pula sarung tangan, harusnya hanya putih, abu-abu, dan hitam. Tapi karena harus sering ganti setelah terkena kenangan negatif dari benda-benda yang kusentuh, Tante Fang kuizinkan membelikan 3 pasang lagi. Dan dia memaksakan warna lain, seperti yang kupakai tadi. Dusty pink. Aku tidak suka. Sudah kumasukkan ke keranjang pakaian kotor.

Cukup sarung tangan saja dari Tante Fang, lain-lainnya aku beli sendiri kalau perlu. Tante Fang menghargai penolakanku, terutama untuk baju warisan. Sebagus apa pun, tidak bisa aku terima. Benda-benda warisan menyimpan kenangan pribadi pemiliknya. Aku tidak mau membawa beban itu di tubuhku.

Antibekasan selama yang bisa kuingat. Ironis ketika aku hidup di rumah yatim piatu, di mana baju baru identik dengan baju bekas layak pakai.

Ya, orang lain memulai kisah hidup dengan kelahiran. Aku, terjaga pada suatu hari di rumah sakit, pada usia sekitar tujuh tahun. Dengan tangan ajaib, atau tangan terkutuk, tergantung dari sudut mana kamu memandangnya. Lini masa sebelumnya gelap total, tidak ada di memoriku. Aku tidak ingat, mereka yang menemukanku juga tidak tahu. Benda-benda di sekitarku tidak memberi petunjuk berarti. Tante Fang pernah mencoba menggali, dan sudah terbentur cadas. Sudahlah, tinggalkan masa lalu, maju saja.

Aku mendesah. Ah, pikiran melantur tidak menyelesaikan masalahku sekarang. Masih ada waktu setengah jam sebelum bertemu Kei. Kenapa pula harus dilewatkan dengan menggalau soal pakaian dan asal-usul?

Celana hitam, t-shirt putih, hoodie dan kaus tangan abu-abu. Fix! Aku mengamati penampilanku di cermin, sudah oke. Tapi rambut ikal itu, kayak mi instan kelamaan direbus. Kusambar handuk untuk menggosoknya lagi. Salah sendiri, kenapa memutuskan keramas sekarang! Aku harus membeli hair dryer segera.

Ya, Tuhan, kenapa aku jadi begini? Apa yang kutakutkan dengan penampilan seadanya di depan Kei?

Jawaban yang muncul dari lubuk hati menohokku sendiri, sampai aku terduduk di dipan. Aku ingin memberikan kesan baik agar Kei menganggapku layak berurusan dengan Aidan ... layak terlibat dengan kasusnya ... layak memiliki kenangan yang ditinggalkan olehnya.

Kenangan yang ditinggalkan olehnya ....

Ah, aku sudah punya beberapa. Buru-buru aku turun ke lantai. Menarik kotak kaleng dari kolong dipan. Kenangan yang ditinggalkan Aidan ... untukku ... semuanya ... selama ini ... ada di dalam treasure box ini. Ada stiker bertuliskan happy memories pada tutupnya. Dan senyumku merekah ....

Aah, tidak! Ini seperti balik lagi ke masa-masa awal sekolah di DIHS. Masa-masa halu cewek aneh naksir kakak kelas idola. Jadi, kendalikan dirimu sekarang, Rhe!

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now