Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)

2.4K 566 178
                                    


JJ mengambil kertas dari tanganku dan membacakan keterangan hukuman. Bahkan mereka sendiri saling berpandangan heran. Mereka tidak terlibat, pikirku. Tapi mengamati ekspresinya, aku bisa menebak pemikiran JJ. Menyatakan tulisan itu bukan dari mereka sama saja dengan mengakui permainan itu sudah dikacaukan orang. Akan ada keraguan terhadap seluruh kotak. JJ tidak ingin itu terjadi. Lagipula, tidak ada masalah dengan hukumannya. Rhea akan mendapatkan kejutan dari sahabat di luar rumah. Biarlah.

"Hukum Rhea! Hukum Rhea!" suara perempuan, lantang dari belakang semua orang. Tangannya teracung. Gelang jade yang sama. Tapi bukan Marga, melainkan Henrietta. Marga sendiri masih di dekat JJ. Membisikkan sesuatu ke telinga salah satunya.

Maka hukuman itu dibacakan seolah mereka sendiri yang merencanakannya. Tidak ada yang berkerberatan. Kelompokku bahkan bertepuk tangan dengan ekspresi lega. Ada wakil yang menanggung hukuman.

Marga mendekatiku. Kilau hijau menghiasi pergelangan tangannya. Apa artinya itu? Mereka membentuk geng gelang jade? Aku bakal heran kalau Alea tidak muncul juga dengan tanda yang sama.

"Well, it's just a game. Rhea, kamu harus menjalani hukuman dulu. Silakan, ikuti Marga," kata JJ, bersikap biasa.

Jadi, tidak ada pilihan lain buatku. Tidak ada Aidan yang akan menentang situasi ini. Kalaupun ada, mungkin ia hanya akan bilang, I told you! Tidak mungkin pula aku menolak karena aturan permainan sudah disepakati. Tapi aku menolak merasa gentar. Dengan kepala tegak, diiringi tepuk tangan meriah, aku mengikuti Marga meninggalkan arena pesta.

Henrietta menyusul. Berdua mereka menggiringku melalui lorong, menuju pintu keluar.

"Kalian sudah rencanakan ini," kataku memancing. "Aku sengaja diberi undangan untuk tujuan ini?"

"Aw, Rhea, kamu selalu curigaan." Henrietta terdengar gugup.

"What have I done to you?" tanyaku, lebih pada diri sendiri. Rasanya, aku tidak pernah memberi mereka masalah.

"Sometimes, just being you annoys me so much." Marga mendesah. "Tapi seperti JJ bilang, ini cuma permainan. Kamu setuju ikut main. Dapat hadiah atau hukuman, sudah biasa. Apa kata orang, kalau kamu ribut cuma karena hukuman ringan, padahal sudah dapat hadiah banyak?"

"You talked too much," sahutku. Ambang pintu sudah tampak. Aku lebih waspada.

"Keluarlah," kata Marga. Ia berhenti.

"Ya. Kalau aku jadi kamu, bakal langsung pulang setelah ini. Aku pamitkan pada JJ." Henrietta terkikik.

Keningku berkerut. Cuma disuruh pulang? Baiklah. Tidak ada ruginya. Aku pun keluar, melewati batu-batu pipih yang dipasang di sepanjang jalan hingga ke pagar tanaman. Aku tadi masuk lewat gerbang utama, tapi pintu pagar samping ada di depan mata. Aku melanjutkan langkah, tidak menoleh lagi.

Pukul 21.45. Tidak merasa kalah ataupun terusir, hanya lapar karena tidak sempat makan, aku keluar dari pagar. Terdengar suara-suara di kanan kiri dan aku terlambat menyadari. Saat seember air—bukan air, tapi cairan putih kental dan lengket—disiramkan ke kepalaku. Aku memekik kaget dan refleks menutup mata saat benda cair itu menggeleser ke muka. Selagi tanganku sibuk menyingkirkan cairan dingin, ada lagi yang ditumpahkan ke rambutku.

Tawa tertahan lelaki dan perempuan terdengar. Aku nekat membuka mata, tapi dua orang itu sudah lari cepat. Keduanya memakai jaket dan topi. Dari belakang, sosok mereka tidak kukenali.

"Hey! Stop!" Seseorang turun dari mobil dan langsung mengejar mereka.

Aidan ....

Aku membiarkannya. Ya, tangkaplah mereka! Sementara aku mencoba membersihkan diri. Kulepas hoodie untuk menghanduki muka. Cairan lem tapioka dan beberapa bulu angsa berpindah ke hoodie. Setelah kukibaskan untuk mengusir kotoran, kuikat hoodie ke pinggang. What a mess. Berantakan, basah, dan lengket begini, apa ada taksi online yang mau mengangkutku? Naik angkot atau ojek mungkin bisa, tapi aku harus jalan ke luar kompleks dulu.

CLAIR [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang