Chapter 17 (a)

2K 587 65
                                    

Hangat mengalir dari hidung. Mimisan. What now? Emosi bisa mengguncang otakku juga? Bagus! Siapa tahu, ingatan terkubur jadi teraduk keluar. Aku lari ke dapur untuk mengambil tisu. Darah dari hidung telanjur turun menyeberangi bibir. Buru-buru kuusap.

Tenanglah, Rhea. Everything will be okay. Don't be so hard on yourself.

Aku mencebik. Mudah sekali Aidan dan kembarannya bilang begitu. Aku tidak baik-baik saja. Mereka tidak baik saja-saja. Bagaimana aku bisa tenang? Bagaimana aku tidak membenci diri sendiri?

Rasa besi darah membuatku mual. Aku beranjak ke kulkas dan mengambil sekaleng energy drink. Meminumnya, lalu tertegun. Minuman favorit Aidan. Berarti Aidan sendiri yang membeli dan membawanya ke apartemen. Mungkin berencana tinggal di sini. Tapi karena Kei dan River bolak-balik datang, ia pergi. Si hoodie hitam adalah Aidan yang tidak ingin bertemu mereka.

Tapi mungkin saja kembarannya juga suka minuman yang sama. Kalau benar begitu, si hoodie hitam adalah kembaran Aidan. Gaya tulisan tangannya yang berbeda memperkuat asumsi ini. Walau bisa saja disengaja berbeda untuk menyesatkan.

Oh help me, God. Otakku begitu saja membuat analisis, mengolah bukti-bukti. Memunculkan jawaban yang kutepis kuat-kuat. Aku tidak mau kehilangan salah satunya. Aku tidak mau kehilangan keduanya. Tidak Aidan, tidak pula kembarannya yang entah siapa namanya. Aah, mataku sudah perih lagi. Harus kulakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiran. Tapi beberapa saat kemudian aku sadar sudah mematung di depan kulkas. Bunyi detik jam dinding tiba-tiba terdengar jelas, mengingatkan aku tentang esok. Kenapa harus menunggu esok?

Kamu perlu bantuanku? Temui aku sekarang. Kamu tahu aku ada di mana.

Pesan itu kukirimkan secara impulsif, walau aku sadar, meminta si hoodie ke sini sama saja dengan meminta Koda berbicara. Aku mendesah. Belum juga bokongku duduk sempurna, jantungku nyaris terlompat oleh notifikasi pesan masuk. Tapi bukan dari si hoodie. Kugigit bibir, kecewa.

Pesan itu dari Bang El, meminta aku meneleponnya kalau perlu teman bicara. Good timing. Firasat Bang El tentang aku sering benar. Aku sedang perlu teman, perlu bicara. Tapi bukan dengan Bang El. Kalau aku balas pesannya, bilang aku baik-baik saja, Bang El pasti langsung menelepon. Kalau aku meneleponnya sekarang, berpura-pura tidak ada masalah, ia akan tahu aku menahan tangis. Tapi berbicara tentang Aidan dan kembarannya pada Bang El bukan solusi untuk keresahanku. Tidak sekarang. Masalahnya, kalau aku tidak menjawab apa-apa, Bang El akan meneleponku juga. Serba salah.

Siapa sangka, Tante Fang menyelamatkan aku dengan pesannya. Rhe, kamu di mana? Are you alright? Call me. Sungguh, luar biasa nyambung, koneksi pikiran dan perasaan antara pasangan kembar bukan mitos. Sering terbukti dengan Bang El dan Tante Fang, terutama kalau mereka sedang berjauhan.

Dengan perasaan lebih ringan, aku membalas pesan Bang El. Ya, aku bicara sama Tante Fang. Bang El konsen saja di situ. Bang El menjawab dengan emoji smiley dan okay.

Aku lalu menelepon Tante Fang. Cepat atau lambat, Tante akan tahu kejadian di depan sekolah siang tadi. Daripada tahu dari orang lain, lebih baik dari aku. Kuceritakan fakta seperlunya, tanpa menyebutkan nama Kei.

"Kamu baik-baik saja? Kenapa baru bilang, tadi kan kita teleponan? Kamu yakin dia Stella?" Tante Fang memberondongku. "Karena kalau benar dia, aku akan melabraknya sekarang juga."

"Aku baik-baik saja, Tan. Bingung juga mau lapor gimana. Aku terlalu kaget, enggak sempat catat nomor mobilnya. Mukanya pun enggak kulihat jelas. Niat banget sembunyi di dalam mobil."

"Aku percaya kamu, Rhe. Clair memberi kamu kepekaan ekstra. Seperti kubilang, Stella sangat mungkin ada di sekitar DIHS. Cara kerjanya memang enggak jelas, bikin aku senewen. Tapi kalau sampai dia mau menabrakmu, sungguh aneh. Atas dasar apa?"

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now