Chapter 8

3.2K 677 134
                                    

"Apa yang kamu tulis di diary, Aidan? Apa yang kamu tulis buat River?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa yang kamu tulis di diary, Aidan? Apa yang kamu tulis buat River?"

"Aku enggak ingat."

"Enggak ingat, atau enggak mau bilang?" Aku menaikkan suara tanpa sadar. Aku marah pada River tapi tidak mungkin menyatakannya terang-terangan. Hubungan kami masih rentan. Salah bicara atau salah bertindak, aku bisa ditendang gadis itu keluar dari lingkarannya. Kei mungkin bisa bersikap adil. Tapi perasaannya pada River terlalu kuat, aku tidak boleh mengambil risiko. Mereka berdua adalah aksesku terhadap kenangan Aidan.

"Kamu tahu, enggak ada kenangan tentang tulisanku di diary. Kamu marah pada River, tapi melampiaskannya padaku!" Aidan merajuk. "Kamu cemburu!"

"Ya. Banget. Puas?"

Aidan tertawa. "Kenapa?"

"Kenapa aku cemburu?"

"Ya."

"Karena aku bagai Rhea yang merindukan Aidan! Pungguk enggak cukup mewakili aku! Kamu juga bukan bulan yang pasif. Tapi kamu menulis untuknya," semburku dengan muka panas. "Dan aku enggak mungkin mengambil bukumu dari tas River lalu membaca isinya. Tuhan tahu, sulit sekali menahan tangan ini. Sulit juga untuk menahan mulut, biar Kei enggak terluka. Tapi lebih sulit lagi mengakui, ternyata banyak banget yang aku enggak ngerti soal kamu. Rasanya kita jadi jauh lagi."

"Karena itukah kamu pindah tidur ke sini?"

"Aku perlu menjauh dulu dari River, Kei, dan diary-mu. Walk-in closetmu aman." Kubenamkan muka pada bantal dan menjerit untuk melepas segala rasa. "Selamat tidur, Aidan."

"Hei, aku tidur di mana? Sofa ini cuma cukup buat satu orang."

Aku mengerang. "Kalau enggak mau tidur di dalam kepalaku, kamu boleh tidur di kasurmu sendiri bareng Kei. Pergilah."

"Tapi aku kan kenanganmu. Memangnya bisa kenangan jauh-jauh dari inangnya?"

Aku sampai terduduk kesal. "Jadi maumu apa?"

Aidan tidak menjawab. Aku mendesah. Percakapan kami mulai melenceng dari karakter Aidan. Aku sadar, itu gara-gara emosiku. Sambil mengatur napas, aku kembali berbaring. Sepi melingkupi kamar baju ini. Wangi Aidan sangat terasa di sini. Menjadi aroma pengantar tidur. Aku memeluk bantalnya. Menarik selimutnya hingga ke kepala. Hangat.

"Hei, aku akan tetap di sini, bersamamu!" Suara Aidan begitu jelas. Aku mengangguk. Tidak peduli lagi apakah itu bagian dari kenangan terkubur atau halusinasi yang muncul dari kerinduan. Aku merasa aman.

Bangun kesiangan. Kudapati Kei sudah berpakaian rapi, duduk membaca di meja makan. River pergi duluan untuk kuliah pagi, katanya. Subuh-subuh tadi, gadis itu pergi ke convenient store 24 jam untuk membeli sarapan buat kami bertiga. Untukku, seporsi onigiri dan sup krim hangat. Baik sekali, kalau tidak kuingat diary Aidan pasti dibawanya serta. Kei sudah makan bareng River. Berniat membangunkan aku setengah jam lagi kalau aku tidak bangun sendiri.

CLAIR [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang