Chapter 21 (b)

2.1K 566 117
                                    

Seperti yang dibilang ibunya Armand, peti mati abad ke-16 itu ditemukan di kastel kecil di pinggiran Glasgow, Skotlandia. Baron Mallory, pemiliknya, percaya kekuatan magisnya dapat menguji kesetiaan. Pengkhianat yang dimasukkan ke dalamnya akan mati seakan disengat ribuan serangga berbisa. Sementara mereka yang setia, secara ajaib bisa selamat. Kemelut terjadi, istri Baron dituduh berselingkuh. Karena terus menyangkal, ia ditantang Baron untuk menjalani uji kesetiaan. Dengan berani, wanita itu masuk ke dalam peti mati yang awalnya kosong. Ditinggalkan semalam. Esoknya, ia tewas mengenaskan. Belakangan, terbukti seseorang telah memasukkan serangga beracun sungguhan.

Aidan benar. Membaca itu tidak terlalu berpengaruh padaku, seperti membaca fiksi saja. Tapi aku pernah terperangkap di dalam peti itu, dan besar kemungkinan, aku telah menyadap langsung kenangan istri sang Baron. Memori mengerikan yang melumpuhkan otakku di hari itu.

Lalu Aidan punya pemikiran menjadikan peti itu sebagai terapi buatku?

Sebelum aku marah kepada kenangannya, sebuah ilustrasi yang dibuat Shai membuatku tertegun.

Dua buah kerangkeng berdampingan. Satu berisi seorang gadis kecil dengan rambut ikal, berpakaian compang-camping kotor, dan satu lagi berisi seekor macan tutul. Gadis kecil itu berbicara tanpa takut kepada macan tutul. "Aku akan bebaskan kamu juga."

Catatan di bawah gambar: Panthera pardus melas (macan tutul) di Gunung Malabar.

Aku mencoba memahami maksudnya dengan membaca obrolan mereka. Tapi malah terkejut dengan fakta baru yang terungkap.

Peti mati di toko Bandrek itu tiruan, yang asli ada di museum di London. Tapi entah bagaimana, aku sangat terpengaruh kisah istri Baron Mallory. Armand memancing Aidan, Shai tepatnya, untuk menyelamatkanku, tapi justru menjauhkannya. Sementara aku juga dipancing dengan nama Aidan, lalu didorong masuk ke dalam peti itu.

Shai membawaku ke sekolah. Dengan ponselku, ia mengirim pesan kepada Tante Fang. Menemani aku sampai Tante datang tapi menghindari pertemuan dengannya. Karena keadaannya yang berdarah-darah. Belakangan, Shai dan Aidan baru tahu efek kejadian hari itu pada memoriku. Sudah sulit bagi mereka untuk membicarakannya dengan Tante Fang, Bang El, ataupun psikolog. Aku baik-baik saja, tidak merasa kehilangan memori. Si kembar akhirnya menjadikan ini sebagai misi personal.

"Bandrek sudah melakukan penipuan. Kita bisa dapatkan peti tiruan itu dengan harga murah. Pertimbangkan untuk terapi. Cari referensi, Shai. Sementara aku pikirkan cara yang bagus untuk membalas Armand."

"Dia sudah dikeluarkan dari DIHS, Ay. Fokus saja pada Rhea."

Aidan cemberut. "Caramu memanggil dia, aku iri. Ya, aku tahu. Ini janjiku sendiri. Janji pahlawan kesiangan kesambet cinta yang berusaha curi perhatian. 'My lady, jangan khawatir, aku bantu kamu menemukan nama aslimu. Aku hanya akan memanggilmu dengan nama yang benar.'" Aidan tergelak.

Shai menjawab santai. "Kalau kamu menyesal, boleh panggil dia Rhea dan aku memperkenalkan diri ke Bunda."

"Jangan. Aku serius." Aidan berubah sikap. "Pertukaran yang sulit, tapi adil. Aku optimis soal nama aslinya. Kamu sudah dapat petunjuk, kan? Insiden peti mati itu ada hikmahnya juga."

"Ya. Rhea mengigaukan ini: Malabar. Macan tutul. Takut. Easy atau Izie, enggak jelas. Aku enggak mau dikurung. Bebas. Ada bintang. Kira-kira mana yang pantas jadi namanya?" Shai tersenyum sekilas. "Izie? Bintang?"

Aidan garuk-garuk. "Poor girl. Apa yang terjadi padanya waktu kecil?"

Baru kali ini igauanku saat korslet dianggap serius. Diinterpretasikan sebagai petunjuk penting. Tapi kalau benar ada maknanya, banyak ocehanku terabaikan dan aku kehilangan peluang untuk melacak masa kecilku. Setelah semua urusan Aidan-Shai selesai, aku harus bicarakan ini dengan Tante Fang dan Bang El.

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now