Prolog

9.7K 280 0
                                    

Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam semuanya! Di ceritaku kali ini, aku ambil dari tiga sudut pandang. POV Azura, POV Auriga, dan POV Author. Selamat menikmati!😊

ΦΦΦ

Azura

Guru laki-laki berbadan gemuk di hadapan gue menghembuskan napas berat yang kesekian kalinya. Gue emang nggak ada henti-hentinya membuat masalah di sekolah. Sampai-sampai guru udah malas ngehukum gue, karena percuma, besoknya pasti bikin ulah lagi. Kalau saja pemilik sekolah ini bukan milik Kakek gue, pihak sekolah pasti akan mengeluarkan gue dari dulu.

"Capek saya," kata Pak Bara sambil memijat pangkal hidungnya.

"Yaudalah, Pak. Hukum aja langsung, biar cepet," balas gue sambil mengedarkan pandangan ke ruangan BK ini.

Pak Bara memutar bola mata jengah, "Ya sudah. Bersihkan halaman belakang sekolah sekarang juga, dan jangan ikut pelajaran Bu Manda."

Gue bersorak senang dalam hati. Lebih baik dihukum bersihin halaman belakang sekolah daripada harus berurusan dengan pelajaran sejarah yang membosankan. Setelah Pak Bara menyuruh gue keluar dari ruangannya, gue segera pergi ke halaman belakang sekolah yang letaknya tidak jauh dari ruang BK.

Sesampainya gue disana, gue memandang satu cowok yang sedang duduk sambil menghisap rokok di antara bibir merahnya. Walaupun dia sering ngerokok, bibirnya tetap merah dan malah, tambah seksi menurut gue. Tapi jangan bilang ke orangnya.

Cowok itu ngelirik gue sebentar, "Kenapa lagi lu?" tanyanya sambil memainkan putung rokok yang dijepit di antara jarinya.

Gue mengedikkan bahu, "Biasa."

Setelah itu gue berjalan ke tempat penyimpanan alat kebersihan di pojok halaman belakang ini. Untung tadi Pak Dono sudah membersihkan halaman ini, meskipun sekarang sudah kotor lagi karena daun-daun yang sudah mengering dan menguning jatuh. Ditambah lagi karena putung rokok cowok itu yang baru saja dibuang dan diinjak.

Kasian nasib lu, Tung.

Gue langsung ngebersihin halaman itu dengan santai. Bel pulang akan berbunyi satu jam lagi, jadi gue berpikir untuk menghabiskan waktu gue di halaman belakang ini sambil dengerin lagu dari boyband kesayangan gue —yang udah bubar atau apalah itu— One Direction.

"Angkat kaki lo!" perintah gue pada cowok itu.

Cowok bernama lengkap Auriga Antares itu hanya melirik sinis ke arah gue dan langsung mengangkat kedua kakinya. Setelah terangkatnya kaki cowok ngeselin itu, gue langsung menyapu bagian bawah bangku yang ditempati Auriga.

"Kenapa dihukum?" tanyanya sambil ngeluarin ponsel dari saku celananya.

Gue gak ngejawab. Setelah ngebersihin bagian bawah bangku itu, gue segera membersihkan bagian lain. Disini suasananya sejuk. Banyak pohon-pohon yang nutupin datangnya sinar matahari secara langsung. Nggak jarang anak-anak bandel seperti gue dan Auriga kalo mabal datengnya kesini.

"Diem aja," gumamnya yang masih bisa gue denger.

Gue menghentikan aktivitas sejenak, lalu mengambil ponsel di saku rok gue yang bisa dibilang lumayan pendek. Kenapa lumayan pendek? Karena gue gak suka ribet-ribet kalo pake baju. Gue buka aplikasi lagu dan milih lagu yang enak buat didengerin.

Gue ngefull-in volume biar bisa kedengeran meskipun di dalam saku. Nggak ada tanda-tanda Auriga yang protes. Gue ngelirik dia yang lagi mainin ponselnya sambil berseru nggak jelas.

Setelah sepuluh menit berlalu, gue udah selesai bersihin tempat ini. Gue berjalan ke tempat penyimpanan alat kebersihan dan menaruh sapu itu dengan sembarangan.

"Geng lu mana?" tanya gue sambil ngerapiin anak rambut.

"Ngapain nanya? Mau nantangin?" Auriga bertanya balik.

Gue memiringkan kepala lalu tersenyum sinis, "Kenapa? Lo merasa gue tantangin?"

Cowok itu berdecih lalu bangkit dari duduknya. Dia menatap gue datar dan tajam. Ih, gue nggak takut!

"Tiga cowok, lawan satu cewek? Sanggup?"

Beneran nantangin nih!

Gue menyilangkan tangan dan berjalan menghampiri cowok itu dengan angkuh. Cuma adu jotos aja mah gue nggak takut!

"Lo lupa sama temen gue?" cowok itu menaikkan kedua alisnya, "Si Althea sama Cherise!" jawab gue.

Cowok berparas tampan —gue akuin itu— dengan kedua tangan di masukkan ke sakunya itu cuma manggut-manggut. Ia berjalan menghampiri gue nggak kalah angkuhnya.

"Cuma adu jotos doang kan?" tanyanya.

"Hm, di tempat biasa kan?"

Cowok itu tertawa meremehkan. Kemudian berbalik dan pergi ninggalin gue disana sendirian. Tapi sebelum berjalan menjauh dari gue, dia mengatakan hal yang bikin gue melotot.

"Kalo gudang sebelah sekolah gimana?"

Game Over (Completed)Where stories live. Discover now