Part 32

1.8K 81 0
                                    

Azura

"Azura!"

Gue mendengus kesal saat Papa membentak gue. Nggak ada gunanya ngelawan, Papa selalu maksa keinginannya sendiri. Egois. Papa hanya pulang sebentar, nanti malam Papa harus ke Singapura untuk mengurus pekerjaannya disana. Dan gue, gue harus satu rumah dengan Mikko selama tiga hari. Kata Papa itu bagus, katanya juga dia bisa jaga gue selama Bi Ina pulang kampung. Kata gue itu nggak bagus.

"Oke," gue melengos pergi ke kamar saat ini juga.

Dengan kekuatan penuh, gue menutup pintu sampai menimbulkan suara debuman keras. Gue tidak lupa mengunci pintunya dan langsung menenggelamkan wajah ke bawah bantal. Gue nggak mau serumah sama kunyuk itu. Kenapa harus Mikko? Kenapa nggak Cherise sama Althea aja?

Gue menelpon Cherise untuk memberi tahu kalau gue nggak jadi ikut ke Mall. Untung gue juga bukan tipe cewek yang gila diskon kayak Cherise dan Althea. Selama gue menelpon Cherise dan menceritakan semuanya, dia udah jerit histeris sampai gue harus menjauhkan HP dari telinga gue. Rencananya, Cherise dan Althea akan ke rumah kalau acara belanja mereka selesai.

Selama di dalam kamar, gue uring-uringan nggak jelas. Beberapa kali Papa mengetuk pintu, tapi gue hanya diem dan lebih memilih menonton film action di laptop. Nggak kerasa, jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Gue harus turun untuk melihat Papa pergi dari rumah ini, lagi.

"Hai, Ra," sapa Mikko dengan senyumannya.

Gue hanya tersenyum kecil lalu melewati Mikko begitu saja. Di ruang tamu, Papa sedang membereskan beberapa jurnalnya ke dalam koper. Gue tersenyum miring melihatnya.

"Nggak ada yang lebih penting ya selain perusahaan?" Papa menghentikan aktivitasnya.

Kemudian gue duduk di sofa seberang Papa sambil memainkan kuku, "Kayak anak contohnya," imbuh gue.

Papa berdehem lalu merapikan beberapa kopernya, "Maafin, Papa. Papa ingin kamu bisa hidup bahagia dengan hasil–"

"Hasil kerja Papa yang terus mentingin uang gitu?" gue menegakkan posisi duduk, "Ara nggak perlu uang."

Papa menghembuskan napas berat, "Mau kamu apa?"

"Ara pengen Papa selalu ada di rumah. Nemenin Ara, selalu ada waktu Ara butuh, bisa diajak pergi jalan-jalan keliling kota, kasih semangat waktu Ara jatuh, selalu ada waktu pengambilan raport, dan bisa dengerin keluh kesah Ara. Apa itu nggak bisa dilakuin, Pa?"

Papa menunduk. Sedangkan gue menarik napas agar air mata nggak keluar dari pertahanannya, "Itu lebih mudah daripada harus kerja ke luar negeri dan habisin waktu buat pekerjaan. Disini juga ada Ara, Pa! Papa nggak nganggep Ara ada? Papa lebih mentingin perusahaan dari pada Ara? Iya?! Jawab, Pa!"

"Maaf..." gue berdesis sinis mendengarkan kalimat itu. Gue nggak butuh maaf, tapi butuh bukti.

Setelah mengatakan kalimat itu, Papa beranjak berdiri dan menghampiri gue. Gue ikut berdiri lalu mencium tangan Papa, meskipun gue nggak rela Papa pergi lagi. Papa memeluk gue sebentar lalu mencium kening gue cukup lama. Dari arah dapur, Mikko datang dan mencium tangan Papa sebentar lalu berganti memeluknya.

"Jaga Ara baik-baik ya! Kamu jangan aneh-aneh," kata Papa pada Mikko.

Mikko mengangkat tangannya bentuk hormat kepada Papa, "Siap, Om!"

Kemudian gue dan Mikko mengantar Papa keluar rumah sampai mobil Papa menghilang dari pengelihatan gue. Dan saat itu juga, gue merasa kesepian. Lagi. Gue menghembuskan napas berat seraya pergi masuk ke dalam rumah.

"Ra," gue hanya menjawab dengan gumaman.

"Jalan-jalan yuk! Mumpung satnight." kata Mikko.

Bagi gue ini bukan satnight, tapi sadnight. Gue menganggap ajakan Mikko itu hanya angin lewat, jadi gue nerusin berjalan menuju kamar. Setelah dirasa Mikko nggak ngikutin gue, gue menutup pintu dan mulai mengambil baskom berisi air hangat yang tadi sempet gue bikin. Gue mencelupkan handuk kecil lalu memerasnya. Dengan hati-hati, gue mengompres luka lebam di pergelangan kaki yang sudah membiru.

"Ra! Keluar dong! Gue sendiri nih!" teriak Mikko dari luar.

"Males! Lo main sana sama Riyan!"

Gue kembali mencelupkan handuk kecil itu lalu memerasnya. Dan terus mengulangi beberapa kali. Gue pura-pura nggak denger kalau Mikko teriak-teriak ngajakin gue keluar.

"Kalo lo nggak mau keluar, gue bakal narik paksa diri lo!" hening sesaat, "Azura! Keluar lo!" teriaknya.

Saat gue mau keluar, tiba-tiba pintu terbuka dan menampilkan wajah seringaian dari Mikko. Dengan amarah yang udah menumpuk di kepala gue, gue meninju Mikko tepat di rahangnya. Mikko yang tersulut emosi pun menarik gue keluar dan menuruni tangga dengan cepat.

"Sakit!" rintih gue masih dalam genggaman Mikko.

Bahkan gue udah terlanjur nangis saat Mikko dan gue udah sampai lantai bawah. Beberapa kali gue juga denger suara orang yang memencet bel secara brutal dan sesekali meneriaki nama gue. Mikko semakin keras mencekal pergelangan tangan gue dan melotot tajam. Sedangkan gue hanya bisa menangis menahan sakit di pergelangan tangan dan kaki secara bersamaan.

Mikko menarik gue untuk membuka pintu. Bisa dilihat sekarang, wajah terkejut dari kedua sahabat gue. Sampai-sampai Althea membuka mulutnya lebar-lebar.

"Ngapain lo kesini?" tanya Mikko dengan ketus.

"Elo sendiri udah ngapain Azura? Hah! Jawaaab!" Cherise menarik kerah kemeja Mikko dengan keras.

Mikko tidak tinggal diam, dia mendorong Cherise sampai hampir terjatuh, kalau saja Althea tidak menolongnya. Mikko mengeratkan cekalan tangannya lalu mengangkat tangan gue untuk menunjukkan kepada kedua sahabat gue.

"Kalo gue mau bawa dia ke tempat favorit gue gimana?" tanya Mikko kepada kedua sahabat gue.

Gue hanya menangis dan tidak bisa berbuat apa-apa karena menahan rasa sakit. Saat Althea baru maju satu langkah tiba-tiba seseorang meninju rahang Mikko dan langsung mendekap gue erat.

Auriga?

Game Over (Completed)Where stories live. Discover now