Part 15

1.5K 64 0
                                    

Azura

Setelah menyelesaikan olahraga sore gue, Bi Ana datang ke atas dan menyuruh gue untuk belajar. Awalnya gue menolak dengan halus, tapi lama-lama Bi Ana terus memaksa gue supaya belajar. Alhasil, sekarang di tempat ini gue membawa buku Sejarah untuk dipelajari.

Gue hanya membaca dua kalimat pertama dan setelah itu hanya membolak-balik kertas di buku itu. Bi Ana juga membuatkan gue susu untuk menemani belajar gue. Lebih baik minum susu sambil main HP dari pada baca buku sambil minum susu. Itu gue.

Menutup buku Sejarah lebih baik dari pada harus pusing menghafalkan beberapa materi disana. Gue menghabiskan susu itu sambil memainkan HP. Jam menunjukkan pukul setengah tujuh. Gue menyuruh Bi Ana untuk makan malam sendiri, karena gue masih kenyang.

"Bi, Putih mana?" tanya gue.

Bi Ana menunjuk taman belakang rumah. Gue berlari untuk segera bermain dengan Putih disana. Saat sampai disana, gue liat Putih sedang tidur di salah satu bangku di seberang kolam ikan. Gue menghampiri dan mengangkat Putih agar tidur di pangkuan gue.

"Baru aja mau diajak main, udah tidur duluan," gumam gue sambil mengelus bulu halus Putih.

Gue melamun memikirkan bagaimana bisa Mikko kenal dengan Auriga. Lebih baik besok gue bertanya dari pada terus-terusan penasaran dengan hubungan mereka. Gue menaruh Putih, lalu pergi ke dapur untuk berpamitan kepada Bi Ana.

"Bi, Ara mau keluar dulu ya. Males nih di rumah."

"Udah belajar kan, Non?"

"Udah, Bi," jelas gue berbohong, "Nanti kalo Putih bangun, jangan lupa kasih makan ya."

"Iya. Non, nggak makan?"

"Masih kenyang. Yaudah, Bi, Ara pergi dulu," kata gue seraya mencium punggung tangan Bi Ana.

"Hati-hati. Jangan malem-malem pulangnya," balas Bi Ana setengah berteriak.

Setelah itu gue segera memakai sandal dan pergi dari rumah. Gue keluar komplek dan berjalan terus tak tentu arah. Cuma bermodalkan kaos merah lengan panjang dan celana hoodie hitam gue keluar rumah. Nggak lupa juga bawa HP dan cuma bawa uang dua puluh ribu sebagai pelengkap.

Angin malam menerpa beberapa helai rambut gue yang terlepas dari ikatan. Gue memasukkan kedua tangan ke dalam saku untuk menghindari udara yang lumayan dingin ini. Sesekali gue berhenti di pinggir jalan sambil memperhatikan jalan raya yang sepi dengan kendaraan, padahal baru jam setengah tujuh.

Saat gue berjalan, gue nggak sengaja liat gadis kecil sedang berjalan bersama kedua orang tuanya sambil membawa balon. Gue perkirakan umurnya masih tiga tahunan. Gadis itu tersenyum lebar sambil terus bersenandung. Sedangkan kedua orang tuanya juga ikutan tersenyum sambil sesekali membelai rambut pendek gadis itu. Huh, gue iri.

Andai Mama masih hidup. Andai Papa selalu ada di rumah untuk menemani gue makan atau sekedar dengerin curhat. Andai yang ambil raport itu Papa, bukan Bi Ana. Andai semuanya masih utuh, gue gak mungkin senakal ini.

"Keluar atau gue rebut paksa mobil ini?!"

Gue mengernyit mencoba mendengarkan lebih jelas lagi. Jalanan saat ini lengang, hanya ada beberapa warung kopi yang baru saja dibuka. Bahkan gue sendiri nggak tau ini udah di jalan apa.

"Ka-kalian minta apa?"

Gue semakin mendekat ke sumber suara. Saat gue tiba di belokan sebelah gang, disitulah suara itu berasal. Ada lima orang laki-laki disana. Tiga laki-laki berbadan tegap, sementara dua laki-laki lainnya berpakaian rapi dan salah satunya masih muda.

Gue mencoba mencari tempat aman untuk bersembunyi mendengarkan obrolan mereka. Ah, ada tempat sampah yang ukurannya lumayan besar disana. Gue segera berlari kecil dan bersembunyi di belakang tong besar itu.

"Satu juta aja, nggak banyak-banyak," kata laki-laki gondrong di depannya.

Pria yang memakai jas hitam itu segera mengeluarkan dompetnya dari dalam saku celana. Pria itu menghitung uang di dalam dompet dan segera memberikannya pada tiga laki-laki di hadapannya.

Gue segera menghampiri mereka. Saat tiba di samping laki-laki gondrong itu, gue menepuk bahunya sampai laki-laki itu berjengit kaget.

"Kenapa cuma minta segitu?" tanya gue.

Laki-laki gondrong itu mengernyit, "Jangan ikut campur lo! Ini urusan kami bertiga," katanya sambil melirik dua temannya.

"Gue cuma nyaranin aja. Sekalian aja ambil tuh dompet, kan lebih baik."

Dia manggut-manggut. Kemudian laki-laki gondrong itu memberi isyarat laki-laki di sampingnya dan langsung saja mengambil dompet itu secara paksa.

Gue tersenyum miring, "Pergi sana!"

Mereka bertiga membalikkan badan hendak pergi. Kemudian gue segera menendang betis laki-laki gondrong itu dan langsung menghajarnya. Gue juga meninju dua laki-laki lain dan menendang kakinya. Selesai. Tenaga mereka cuma kecil, modal tampang doang aja belagu.

Mereka bertiga terkapar di aspal jalanan. Saat itu juga gue mengambil dompet pria ber-jas hitam itu dan memberikannya.

"Pergi atau gue lapor polisi?"

Dan saat itu juga mereka bertiga berlarian ketakutan sambil memegangi perutnya. Gue berbalik mendapati senyum sumringah dari kedua laki-laki di hadapan gue.

"Terima kasih banyak! Saya berhutang dengan Anda," kata pria itu.

"Ah, santai kali, Om. Kapan-kapan lawan aja tuh orang. Tenaga mereka lempeng tuh, kayak adonan kue. Maaf juga uang satu jutanya ludes, hehe."

Mereka berdua tertawa kecil. Pria tersebut mengeluarkan beberapa lembar uang merah kepada gue. Tapi gue segera menolaknya dengan halus.

"Bener nih kamu nggak papa?" tanya cowok yang lebih muda itu.

"Nggak papa kok, Kak. Oh iya, saya pamit dulu ya."

"Eh, eh tunggu! Kamu mau ikut makan malam di rumah istri Om nggak?" tanyanya.

Gue menggeleng dan tersenyum, "Makasih, Om. Takut merepotkan."

"Nama kamu siapa?" tanya cowok itu.

"Azura, Kak."

Game Over (Completed)Where stories live. Discover now