Part 29

1.9K 86 0
                                    

Azura

Gue mendongakkan kepala ke atas menikmati sapuan angin yang menerpa wajah dengan kedua tangan menopang tubuh gue. Setelah itu gue kembali menatap wajah Auriga yang tersenyum ke arah gue. Dia mengulum bibirnya lalu menunduk.

"Lo kenapa?" pertanyaan favorit gue.

Auriga menggeleng, "Lo sendiri kenal Mikko dari mana?"

Gue tersentak. Gue paling nggak suka ditanya tentang Mikko, maka dari itu sahabat-sahabat gue nggak pernah mengungkit hal itu. Auriga kembali menatap gue dengan senyum kecilnya.

"Kayaknya kita punya masa lalu dengan orang yang sama, tapi ceritanya beda," ujar Auriga sambil tersenyum.

"Dulu... Gue sahabatan sama Mikko dari SMP. Dia paling ngerti gue dari pada Riyan, Leo, dan Tarendra."

Gue mendekatkan diri ke Auriga untuk mendengarkan lebih jelas lagi suara Auriga yang pelan.

"Sampai waktu kelas satu SMA, Riyan dan Mikko memutuskan untuk sekolah di SMA Nusa Bakti. Hubungan gue sama mereka berdua sedikit merenggang gara-gara jarang ketemu," Auriga mengusap wajahnya, "Kami berlima memutuskan untuk bertemu di salah satu kafe, disana kami hanya diam. Gue yang pertama membuka suara."

Gue mengernyit penuh keingintahuan. Suasana hening sebentar, lalu Auriga kembali membuka suara.

"Kami berdebat masalah waktu untuk sahabat, tapi Mikko udah emosi duluan. Dia nonjok gue dan melontarkan kata-kata kasar ke gue," katanya sambil tersenyum miris.

"Dan, semuanya berubah," lanjutnya.

Gue hanya mampu mengulas senyum kepada Auriga dan memberikan Auriga ketenangan dengan mengelus bahu Auriga.

"Udah ah. Giliran lo yang cerita!"

Wajah gue kembali datar, "Iya deh."

Auriga membenarkan posisi duduknya, "Mulai."

"Gue kenal Mikko semenjak gue dikenalin Mama dengan orang tuanya. Kedua orang tua gue dan Mikko saling kenal karena bisnis. Waktu gue ketemu sama Mikko, dia kayak deketin gue gitu."

"Jangan GR deh!" ucap Auriga menyela.

"Gue nggak GR. Cuma ngerasa risih aja kalo dia deket-deket sama gue. Apalagi dia kan Kakak kelas. Gue kenal dia waktu Mikko masih kelas 11."

"Jadi, Mikko itu kayak suka sama lo gitu?" tanya Auriga dengan dahi berkerut.

"Nggak kayak! Malah dia udah nembak gue, dan–"

"HAH?! BENERAN?!"

"Apa sih? Jangan motong ucapan gue!"

Auriga berdehem lalu menyuruh gue melanjutkan cerita yang dia potong. Gue juga ikut berdehem dan menopang wajah dengan satu tangan.

"Gue tolak. Eh, malah ngejar-ngejar lagi sampe sekarang. Udah gue blokir kontaknya, menghindar kalo ketemu, yaaa... Pokoknya banyak lah, males gue jelasin atu-atu."

Auriga terkekeh lalu mengacak rambut gue. Mampus! Gue membeku di tempat. Auriga beranjak berdiri dan mengambil bola basket yang sempat ditendangnya tadi. Gue mengedikkan bahu lalu menjalankan hukuman terakhir hari ini dari Pak Bara.

"SEMANGAT YA!" teriak Auriga sambil mengangkat tangannya yang terkepal ke udara.

ΦΦΦ

Auriga

"Ra!" lagi-lagi gue harus mengingatkan kepada Azura yang selalu mengangkat kakinya tidak lurus.

"Capek, Ga!" keluh Azura.

Gue mendengus. Dua hari lagi Azura dan teman-temannya harus menjadi Pasukan pengibar bendera hari senin. Beberapa kali gue, Leo, dan Tarendra mengingatkan mereka bertiga, tapi yang serius hanya Althea. Capek gue.

"Udah hampur satu jam lho kita latihan. Udahan deh," pinta Cherise dengan wajah memelas.

Gue melihat Azura dan Althea juga yang nampak kelelahan. Untung aja perkembangan mereka cukup baik. Setelah berpikir sejenak, gue memutuskan untuk mengakhiri latihan hari ini.

"Lo bisa cerita kejadian kemarin nggak? Gue kepo banget nih!" kata Leo setelah mendaratkan pantatnya di pinggir lapangan.

Gue meneguk air mineral dalam satu kali tegukan. Baru aja gue mau nutup botol itu, Tarendra udah mengambil paksa botol itu dan langsung menyiramkan airnya ke wajah.

"Segerrr..." ucap Tarendra sambil mengusap wajahnya yang penuh air.

Gue hanya geleng-geleng kepala, lalu kembali menghadap Leo, "Oke."

Setelah beberapa menit menceritakan kejadian semalam, Leo dan Tarendra memutuskan untuk pulang duluan. Gue bangkit dan berjalan menuju Azura yang hendak bangkit dari duduknya. Althea dan Cherise berjalan duluan, sedangkan Azura masih sibuk dengan HPnya.

"Nggak pulang?"

Azura mendongak lalu memasukkan HPnya ke dalam saku, "Ini mau pulang."

Tanpa basa-basi, gue menarik tangan Azura untuk keluar sekolah. Gue nggak peduli betapa kerasnya Azura meneriaki nama gue dari belakang.

"Kita naik bus," kata gue setelah berjalan ke depan sekolah.

Azura tidak menolak. Gue melepas pegangan tangan tadi dan menyetop bus yang lewat. Gue segera berlari untuk naik ke dalam bus, sedangkan Azura kebingungan untuk menaikinya.

"Mas, itu tolong dibantuin naiknya dong!" suruh gue pada kenek di samping pintu.

"Ayo, Mbak! Naik!" kenek itu turun lalu berlari menuju pintu belakang.

Azura membulatkan matanya saat bus udah jalan. Gue mau lompat, tapi sayang nyawa. Jadi gue terus berteriak agar sopir bus menghentikan busnya.

"GAAA! GIMANA NAIKNYA?!" teriak Azura sambil berlari tertatih-tatih.

Gue ketawa ngakak lalu turun dari bus untuk membantu Azura. Saat Azura sudah berada dalam bus, gue menyuruhnya untuk mencari tempat duduk. Dia menemukannya dan mengajak gue untuk di sampingnya.

"Nggak usah, lo aja," tolak gue halus.

Kemudian Azura menoleh ke belakang. Dia bergeser lalu menyuruh wanita di belakangnya untuk duduk. Saat gue mau memprotes, wanita itu terlihat berjalan susah payah dengan membawa satu tas dan perutnya bunting. Azura bener-bener deh, bikin gue makin suka aja.

Game Over (Completed)Where stories live. Discover now