Part 47

1.9K 78 0
                                    

Auriga

Sore ini, gue dan Azura harus berada di restoran cepat saji deket rumah gue. Gue nggak tau alasan Mikko tiba-tiba ngajak gue dan Azura kesana. Sepertinya ada hal yang penting buat dibicarain, dari cara mintanya ke gue aja wajahnya bener-bener serius. Sebenernya gue males kalau berhubungan dengan Mikko, mengingat dia orang yang pertama gue benci. Tapi, melihat Mikko yang belain gue dan Azura di depan Putu, gue jadi sedikit tersentuh dengan sikapnya. Gue rasa gue bisa baikan lagi dengan Mikko.

"Udah?" tanya gue saat Azura kembali dari kamar tamu.

Pulang sekolah tadi, dia ngerengek minta main ke rumah gue. Katanya, dia nggak betah serumah dengan Putu. Karena itu, Azura langsung ganti baju yang dia bawa dari rumah. Mama sama Bi Ina nggak ada di rumah, katanya mau pergi arisan. Mereka berdua itu emang kompak banget, heran gue.

"Langsung ke restoran nih?" Azura bertanya balik.

"Iya. Emangnya mau kemana dulu?"

Azura mengerling, "Yaaa... Ke–mana dulu kek!"

Gue menaikkan satu alis. Ini jelas kode. Gue tersenyum seraya menarik tangan Azura untuk pergi ke ruang keluarga. Disana, gue mengambil rak berisikan CD film-film kesukaan gue. Awalnya Azura sempet bertanya, gue menjawab hanya dengan mengangkat salah satu CD itu ke arahnya. Dia tersenyum. Manisnya.

"Mau nonton apa?" gue masih mencari CD yang pas, "Divergent? The Maze Runner?"

Azura berdecak, "Udah pernah nonton semua."

Gue hanya manggut-manggut dan terus mencari film yang pas. Cuma ada satu film horor yang gue punya. Ini dia. Gue mengangkat tinggi-tinggi CD itu ke arah Azura. Dia melotot lalu melempar bantal sofa tepat di wajah gue.

"Apa-apaan Suster Keramas?! Nggak! Kalo perlu buang aja!"

"Ya... Ini bagus lho! Gue aja nonton udah tiga kali."

"Gue nggak suka horor."

Gue menggaruk belakang kepala. Terpaksa gue ngembaliin CD itu ke dalam rak dan mencoba mencari CD yang lain. Tiba-tiba aja Azura duduk bersila di samping gue dengan tatapan lurus ke depan. Wajahnya lagi-lagi menunjukkan kalau dia sedang sedih, tapi tetep cantik. Gue menghentikan aktivitas tadi dan lebih memilih duduk menghadap Azura sepenuhnya.

"Kenapa?" gue bertanya.

Azura menghembuskan napas berat lalu menoleh ke arah gue. Matanya sedikit merah, kedua sudut bibirnya tertekuk ke bawah. Bentar lagi nangis ini.

"Gue masih betah disini, Ga..." rengeknya sambil menggoyang-goyangkan pahanya.

"Utukutuk... Cup cup sayang," gue mencoba menghiburnya sambil mengelus rambutnya yang tergerai.

"Janji sama gue ya, kalo lo nggak bakal ninggalin gue," Azura mengacungkan jari kelingkingnya.

Gue nggak bisa.

"Iya," gue mengaitkan jari kelingking gue ke jari kelingking Azura.

Wajahnya tampak senang. Cuma itu yang pengen gue lihat sekarang dan kalau bisa selamanya. Gue meyakinkan diri sendiri kalau gue bisa jagain Azura.

"Berangkat sekarang yuk!" gue beranjak berdiri dan menarik tangan Azura.

Namun Azura masih diam dan malah menarik kembali tangan gue untuk duduk. Gue mengernyit, mengerti maksud Azura yang beberapa hari ini uring-uringan.

"Kenapa sayang?"

Azura tampak berpikir. Jarinya mengetuk-ngetuk dagu dan matanya bergerak ke samping. Gue tetep nungguin dia sampai tiba-tiba Azura meluk gue. Lagi-lagi pelukannya terlalu kencang, sampai badan gue terhuyung ke belakang.

"Kenapa sih suka meluk sampe gue jatoh gini?" gue mencoba melepas tangan Azura dari pinggang gue.

"Gue takut..."

Azura melepas pelukan dan kembali duduk bersila. Wajahnya tertekuk, tangannya memainkan kaos yang dia pakai. Gue kembali duduk menghadap Azura sambil mengusap pipinya.

"Takut apa lagi? Kan ada gue."

"Lo nggak bakalan ninggalin gue kan?"

Gue diem. Tentu saja gue nggak bakal ninggalin dia. Bukannya Azura yang bakal pergi ninggalin gue? Tapi mungkin ini kekhawatiran yang wajar dari cewek.

"Iya sayang."

ΦΦΦ

"Azura!"

Kami berdua menoleh ke samping. Dari arah berlawanan, terlihat dua sahabat gue dan dua sahabat Azura sedang berlari ke arah kami. Gue mengernyit. Kok tumben bisa barengan gini?

"Kalian semua ngapain disini?" tanya Azura.

"Kita diundang Mikko sama Riyan kesini. Kalian berdua?"

"Sama tuh. Tapi kita dibilanginnya sama Mikko."

Apa Mikko sengaja ngundang yang lain?

Saat kami melangkahkan kaki menuju meja yang sudah dipesankan Mikko, Riyan datang berlari menghampiri kami semua. Gue semakin bingung sama situasi ini.

"Langsung aja. Mikko udah nungguin," ujar Riyan sambil menormalkan napasnya.

Game Over (Completed)Where stories live. Discover now