Part 43

1.8K 73 0
                                    

≠≠Auriga≠≠

Sekali cetak lagi, Auriga akan memenangkan permainan basket ini. Ia berlari sambil mendribble bola basket, meliuk-liuk menghindari kelas lain yang ingin merebut bolanya, dan sekali lay up, masuk! Bola basket berhasil masuk ke dalam ring dengan sempurna. Skor yang diperoleh tim Auriga 30, sedangkan dari tim lawan 28. Perbedaan tipis.

Cowok bernomor punggung 15 itu berlari ke tepi lapangan untuk mengambil handuk kecil di dalam tasnya. Pekikan cewek-cewek di tribun tak dihiraukan oleh Auriga. Ia memperhatikan sekitar, Azura akan kesini setelah masalah dengan Papanya selesai.

"Lo mau kantin langsung apa nungguin Azura?" tanya Leo di sampingnya.

"Ikut aja deh. Tapi gue ke kelas dulu, mau bawa buku kimia sekalian belajar."

"Astaga, Auriga! Lo tuh ya, kalo nggak berantem ya belajar. Lainnya nggak ada?" Tarendra menutup botol minumnya.

"Udahlah, langsung ke kantin aja."

Setelah itu, mereka bertiga pergi keluar dari lapangan basket. Leo dan Tarendra memutuskan untuk langsung ke kantin, sedangkan Auriga kembali ke kelas dulu, lalu pergi mengganti baju basketnya dengan seragam. Kelas sangat sepi, karena bel istirahat sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Ia tidak segan-segan mengganti pakaiannya di pojok kelas, tapi sebelumnya pintu kelas sudah ditutup.

Untung saja kelas 12 IPA C juga berada di pojok dekat lab bahasa. Jadi Auriga tidak perlu khawatir jika tiba-tiba ada yang masuk. Setelah mengganti pakaiannya, Auriga mencari buku paket Kimia di dalam tasnya. Saat sedang sibuk membuka-buka buku paketnya, Auriga mendengar suara seorang pria.

"Bukan gitu maksud Papa. Kamu ke Bali itu biar deket sama kantor Papa, bukan maksud biar ngejauhin dari sahabat-sahabat kamu."

Auriga mengernyit. Ia menutup buku paket itu lalu berjalan keluar kelas. Matanya mencari-cari sumber suara tadi. Kemungkinan suara itu dekat dengan lab bahasa, Auriga memutuskan untuk pergi kesana dengan hati-hati.

"Kenapa Papa sekarang ngatur-ngatur Azura?! Papa masih nganggep Azura sebagai anak?"

"Azura!"

Auriga membulatkan mata saat melihat Azura sedang berdiri menghadap pria berjas hitam. Ia tidak bermaksud menguping, tapi Auriga hanya memastikan bahwa Azura akan aman dengan orang yang dia sebut Papanya itu.

"Kenapa? Bener kan yang Azura bilang? Papa tuh cocoknya jadi Ayah seorang duit. Duit aja diperhatiin, dilindungin, di–"

"AZURA!"

Pria itu hampir menampar Azura jika saja tangan Auriga tidak menahannya. Wajah pria itu merah padam, dan satu tangan lainnya mengepal. Bersamaan dengan Auriga yang menurunkan tangan pria itu, Putu datang dari arah lain dengan wajah gugupnya.

"Maaf, Pak. Laki-laki ditakdirkan buat ngelindungin, bukan menyakiti," kata Auriga dengan rahang mengeras, "Apalagi anda adalah orang tua Azura."

Pria itu tercekat, "Kamu siapa?"

"Saya Auriga Antares, teman Azura."

Putu menghampiri Azura yang masih terpaku dengan kehadiran Auriga. Putu mengelus punggung Azura untuk menenangkan Azura yang hampir saja menangis.

"Nama saya Martin Jordan. Panggil saja Martin," pria itu memperkenalkan.

"Azura pergi dulu, Pa."

Azura berlari meninggalkan mereka bertiga yang masih menatap punggung Azura yang menjauh. Putu menunduk dalam, sedangkan Auriga melayangkan tatapan tajam pada Martin, tidak peduli bahwa dirinya sedang berhadapan dengan seorang pemilik sekolah ini.

"Putu nyusul Azura dulu, Om."

Kemudian Putu juga ikut berlari menyusul kepergian Azura. Cewek itu benar-benar terpukul dengan keputusan Papanya. Di tempat lain, Azura duduk di kursi tak terpakai yang ada di rooftop sambil menangis tersedu. Pikirannya mengingat kejadian semalam yang membuat hatinya mencelos ke bawah.

"Apa yang membuat lo dateng kesini nemuin Mikko?" Azura seperti mengintrogasi seseorang.

"Putu kangen Mikko. Mumpung Putu ada disini, jadi Putu mutusin nyari alamat Pak Martin."

"Lo siapanya Mikko?" giliran Auriga yang bertanya.

"Saha–"

"Bukan siapa-siapa gue," sela Mikko cepat.

Putu hanya tersenyum pedih mendengar penuturan dari Mikko. Memang benar, Putu bukan siapa-siapanya. Ia menganggap Mikko sahabat, tapi dirinya tak dianggap apa-apa oleh Mikko.

Mikko menoleh pada Putu, "Siapa yang nyuruh lo kesini?"

"Papa."

Mereka berempat serentak menoleh ke sumber suara. Suara bariton itu membuat ketegangan disana. Ada dua pria yang sedang berdiri tegap di belakang sofa yang diduduki Auriga dan Azura.

"Papa..." lirih Azura tak percaya.

Sedangkan Mikko dengan patuhnya langsung mencium tangan Papanya dan Martin disebelahnya.

"Azura, kamu ikut Papa sebentar. Papa mau ngomong," Martin pergi menuju ruang keluarga diikuti oleh Azura.

Saat duduk di sofa, wajah Azura berubah lesu. Jika sudah seperti ini, Papanya pasti akan berbicara serius dengannya. Dan apa yang dikatakan Martin sekarang, membuat Azura membeku di tempat.

"Mulai minggu depan, kita akan tinggal di Bali. Selamanya."

Game Over (Completed)Where stories live. Discover now