Part 40

1.8K 88 5
                                    

Azura

Gue mengetuk-ngetuk meja beberapa kali sampai membuat Cherise melirik gue tajam. Gue nggak peduli. Perut gue udah keroncongan, tadi nggak sarapan. Mikko kunyuk itu nggak bisa masak, Bi Ana juga nggak jadi pulang, dan gue bangun kesiangan lagi, terus pas nyampe sekolah kena hukuman. Lengkap sudah penderitaan gue.

Gue mendengus kesal dan sesekali menendang meja. Bu Manda sedang memberi penjelasan pada soal yang ditulis di papan tulis saat ini. Dari tadi gue nggak dengerin penjelasan beliau, gue malah ngambek karena Cherise dan Althea nggak mau diajak mabal ke kantin. Padahal gue laper.

"Ayo dong, Rise!" pinta gue memaksa.

Cherise melotot tajam dan menaruh bolpoinnya dengan keras sampai menimbulkan suara. Gue mencebik kesal lalu bangkit dari duduk. Cherise menarik tangan gue, tapi gue mengabaikannya dan berjalan ke arah Bu Manda.

"Permisi, Bu. Saya mau ke toilet," ujar gue sambil menundukkan wajah.

Bu Manda memandangi gue sebentar kemudian memperbolehkan gue keluar. Saat sampai di ambang pintu, gue menjulurkan lidah ke arah Althea dan Cherise yang udah gereget liat gue. Biarin. Lagian gue juga mau ke UKS buat minta salep untuk mengobati memar di pergelangan kaki dan leher belakang.

"Mabal nih?"

Gue menoleh ke samping. Auriga. Dia berjalan santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Pandangannya lurus ke depan disertai seringaian kecil di bibirnya.

"Lo juga?" gue bertanya balik.

Auriga menjawabnya dengan gumaman. Tapi ada yang mengganjal. Leo sama Tarendra kemana? Karena gue nggak terlalu penasaran, gue memutuskan untuk terus berjalan ke UKS tanpa menghiraukan Auriga di samping gue.

"Ngapain ke UKS?" gue menghentikan langkah saat membuka pintu UKS.

"Nyari salep."

Gue langsung masuk dan mengambil kotak P3K disana. Tadi pagi, gue udah bertanya pada adik kelas yang biasanya jaga UKS. Katanya ada salep buat memar disini. Jadi gue memutuskan untuk meminjam dan sekaligus memintanya sedikit.

"Masih sakit?" gue terperanjat saat Auriga tiba-tiba berada di belakang gue.

"Dikit."

Gue mengambil salep itu kemudian menutup kotak P3K lagi. Gue menarik kursi disana dan duduk sembari membuka kaos kaki. Setelah kaos kaki dan sepatu terbuka, gue mengoleskan salep itu ke area lebam di pergelangan kaki gue. Auriga berjongkok lalu mengambil alih salep itu dan mengoleskannya ke luka gue.

"Jangan diteken-teken!" gue memukul bahu Auriga saat dia sedikit menekan luka gue.

Dia hanya diam. Kemudian tubuhnya bertumpu pada kedua lutut dan mencondongkan tubuhnya ke arah gue. Auriga menyelipkan rambut ke belakang telinga gue dan mengulurkan tangannya menarik perlahan leher gue.

"Ini juga kan?" tanyanya.

Gue hanya mengangguk. Auriga mengganti posisi rambut gue yang terkuncir ke sebelah kanan. Gue sedikit memiringkan kepala agar Auriga bisa mengoleskan salep itu ke luka gue.

"Ceroboh banget sih," ucapnya sembari mengoleskan salep itu pelan-pelan.

Gue mendesis, "Berisik. Tinggal ngolesin juga."

Keadaan hening. Auriga telah mengoleskan salep itu ke luka-luka gue. Dia menaruh salep itu ke kotak P3K. Sedangkan gue memakai kaos kaki dan sepatu kembali.

"Mau kemana sekarang?" tanya Auriga saat melihat gue berdiri.

"Kantin. Gue laper," jawab gue.

Auriga mengangguk lalu keluar dari UKS mendahului gue. Di perjalanan menuju kantin, gue dan Auriga salim diam dan nggak ngelirik sama sekali. Tiba-tiba pipi gue merasa panas saat mengingat kejadian kemarin. Kejadian saat Auriga menyeruput es jeruk gue dengan satu sedotan yang sama dengan gue.

"Kenapa diem aja?" tanya Auriga saat memasuki kantin.

Gue menggeleng cepat lalu segera mengambil tempat duduk disana. Kantin sangat sepi. Hanya ada gue dan Auriga, tak lupa juga beberapa pedagang kantin. Tiba-tiba mood gue berubah, tadinya laper banget sekarang udah kenyang. Cuma gara-gara mikirin kejadian kemarin.

Auriga telah kembali membawa dua kantong plastik berisikan es jeruk Bu Lin. Kenapa gue hafal? Karena yang jual es jeruk disini cuma Bu Lin, dan itu enak banget.

"Nih," Auriga menyodorkan satu kantong plasti itu ke gue.

Gue nggak langsung menerimanya, tapi malah diem ngelamun liatin kantong plastik itu. Dia sengaja ya mau ngingetik kejadian kemarin? Gue nggak tau pipi gue merah apa enggak kalo inget-inget itu.

"Ambil, tangan gue capek," gue mengerjap lalu segera mengambil kantong plastik berisikan es jeruk itu.

Auriga menyedotnya cukup lama, sehingga es jeruk itu tinggal setengah. Sedangkan gue masih memandangi kantong plastik itu dan ... sedotannya.

"Kenapa sih?" tanya Auriga yang mulai penasaran.

Gue menggeleng sambil nyengir. Segera gue menyeruput es jeruk itu sedikit demi sedikit.

"Oh, gue tau."

Mampus.

"Lo masih malu sama kejadian kemarin?"

Skak mat! Gue merapatkan bibir lalu menunduk untuk menyembunyikan kegugupan gue. Gue nggak pernah segugup ini sebelumnya, kecuali waktu Papa dulu daftarin gue ke SMP.

"Kenapa? Mau lagi?" gue semakin mengertkan pegangan pada kantong plastik itu saat mendengar Auriga terkekeh.

Gue mendongak menatap Auriga, "Apaan sih?! Diem lo!"

"Mau dipraktekin secara langsung?"

Game Over (Completed)Where stories live. Discover now