Part 14

2.1K 95 0
                                    

Auriga

Setelah memakai kemeja kotak-kotak merah dan jeans hitam, gue segera turun ke bawah dan menemui Mama. Disana Mama dan Bi Ina sibuk menyiapkan makanan di atas meja.

"Sini, biar Riga aja yang bawa," gue mengambil alih dua piring yang dibawa Mama.

Gue menatanya sedemikian rupa dan menuangkan sirup ke gelas-gelas yang tersedia. Setiap dua minggu sekali, Papa dan Vero --kakak gue-- nyempatin diri untuk makan malam bersama. Meskipun kami terpisah, gue bersyukur karena selalu bisa menjaga kerukunan.

Tok! Tok! Tok!

Gue berlari kecil menghampiri pintu. Saat gue membukanya, Papa dan Kak Vero tersenyum sumringah melihat gue. Mereka berdua memeluk gue seperti setahun tidak bertemu. Suara deheman kecil membuat kami bertiga melepas pelukan itu.

"Peluknya dilanjut nanti aja, Mama udah laper."

Kami terkekeh geli, kemudian mengekori Mama untuk pergi ke ruang makan. Bi Ina berpamitan ke kamarnya. Banyak hal yang diceritakan oleh Papa dan Kak Vero. Sesekali mereka berdua menyinggung luka di wajah gue, namun gue hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan sesuap nasi agar mereka tidak membahas itu lagi.

"Papa sama Vero tadi hampir dibegal orang."

Gue tersedak. Kak Vero segera menyodorkan minum dan gue langsung meneguknya hingga tinggal setengah.

"Papa sama Vero nggak papa kan?" tanya Mama. Ada nada khawatir di suaranya.

"Huh, untungnya ada cewek cantik yang nolongin kita," jawab Kak Vero lalu menyuapkan nasi ke mulutnya.

Gue dan Mama saling tatap. Cewek cantik? Kemudian Mama menyipitkan matanya lalu menunjuk kedua laki-lalki yang lebih tua dari pada gue.

"Jangan bilang kalian suka cewek itu,"

Gue terkekeh. Papa mendelik lalu menyenggol bahu Kak Vero pelan, "Nggak lah! Kayaknya dia seumuran kamu deh," kata Papa sambil menunjuk gue.

"Ga, dia cantik banget! Sikat!" ujar Kak Vero dengan senyum jahilnya.

Gue mendengus geli melihat kelakuan Bapak dan Anak ini. Mereka berdua emang nggak beda jauh sifatnya. Sedangkan Mama sifatnya lemah lembut dan sedikit tegas saat menasehati kami. Kalau gue, gue nggak tau deh.

"Kebetulan, gue nggak buka hati untuk siapa-siapa," jawab gue enteng.

Kak Vero menaruh sendok dan garpunya, "Cih, sok ganteng!"

"Lah emang gue ganteng!"

"Yaudah, gue ngalah."

Gue melirik Mama dan Papa yang sedang geleng-geleng kepala melihat kelakuan gue dengan Kak Vero. Andai aja Mama dan Papa nggak pisah, pasti gue merasa jadi keluarga paling bahagia.

"Gimana ceritanya tadi?" tanya Mama.

Papa meletakkan kedua tangannya di atas meja lalu berdehem kecil, "Jadi gini. Waktu Papa sama Vero jalan kesini, jalanan aman-aman aja."

Gue dan Mama meletakkan sendok bersamaan lalu mendengarkan cerita Papa dengan seksama.

"Pas udah hampir nyampe rumah, Papa sama Vero dihadang oleh tiga cowok berbadan tegap. Dih, merinding Papa kalo inget."

"Sebenernya kita nggak dibegal sih, cuma dipalak," kata Kak Vero.

"Yee, lebay kalian. Cuma dipalak aja ngomongnya dibegal," balas gue.

"Trus?" Mama bertanya lagi.

"Papa sama Vero turun dari mobil. Salah satu orang itu minta duit satu juta. Waktu Papa mau ngeluarin duitnya, tiba-tiba ada cewek yang menghampiri Papa dan Vero. Dia malah nyuruh-nyuruh orang itu minta duit lebih. Papa kan jadi takut."

Gue terkekeh kecil.

"Trus, salah satu cowok lainnya ngambil paksa dompet Papa. Cewek itu senyum dan menyuruh tiga orang itu pergi. Mereka nurut, Papa nelangsa dompetnya diambil," timpal Kak Vero.

"Waduh, sayang banget tuh ada kartu kredit aku disana," ucap gue.

Memang kartu kredit gue udah disita Papa selama satu bulan gara-gara ketauan pergi ke club. Tapi untungnya gue masih punya satu kartu kredit lagi yang dikasih sama Mama.

"Bentar-bentar. Abisin dulu deh makannya, habis itu kita lanjutin di ruang keluarga," kata Papa sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

Kami semua mengangguk. Setelah ucapan Papa tadi, tidak ada lagi percakapan saat makan. Kami semua sibuk menghabiskan sisa makanan untuk bisa melanjutkan cerita Papa yang udah bikin penasaran.

Setelah semuanya habis, Mama memanggil Bi Ina untuk membereskan piring dan gelas kotor. Mama sedikit membantunya kemudian mengikuti kami bertiga ke ruang keluarga.

"Terusin!" kata Mama sembari duduk di sofa sebelah Kak Vero.

Papa membenarkan posisi duduknya, "Waktu mereka berbalik, cewek itu menendang betis cowok yang udah ngerebut paksa dompet Papa. Kemudian cewek itu meninju dua cowok lainnya dengan keras. Merinding lagi nih, Papa."

"Nah, trus mereka lari deh. Cewek itu ngambil dompet Papa dan ngembaliin ke Papa. Aku dan Papa aja sampe bengong liatnya. Tapi sayang, uang satu jutanya ludes. Kok ada ya cewek berani kayak gitu?" wajah Kak Vero menunjukkan bahwa dirinya sedang berpikir.

"Dari tadi cewek itu cewek itu. Punya nama kan dia?" tanya gue.

"Ya pasti lah! Malah Papa ngajakin dia kesini buat ngucapin terima kasih, tapi dia nggak mau," ujar Papa.

"Siapa namanya?" tanya Mama sekali lagi.

"Siapa ya? Zu-Az? Aduh siapa sih?" Kak Vero tampak jengkel sendiri kemudian mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu.

"Nah!" Papa menjentikkan jarinya, "Azura!"

Game Over (Completed)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin