Part 46

1.8K 75 0
                                    

Azura

Jantung gue serasa mau keluar dari tempatnya. Bisa gue rasain hembusan napas hangat dari Auriga. Gue bahkan nggak bisa berkedip untuk menatap mata Auriga dalam jarak sedekat ini. Saat gue mau gerakin tangan, Auriga menahannya lalu melepas kecupan tadi.

"Jangan digerakin. Kalo lepas, gue bisa nyentuh diri lo."

Gue memundurkan kepala lalu menurunkan tangan. Auriga tersenyum geli melihat gue salah tingkah, sedangkan gue terus mengulum bibir dan berusaha menyembunyikan pipi gue yang mungkin udah berubah warna.

"Tadi udah izin sama bokap?" tanya Auriga.

Gue menoleh sebentar ke arahnya, lalu kembali menoleh pada air mancur di depan, "Udah kok."

"Kayaknya air mancur itu lebih menarik dibanding gue ya?"

Gue kembali menoleh pada Auriga. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas sampai matanya menyipit. Rambut acak-acakannya terkena angin dan satu tangannya bergerak menyapu sebelah pipi gue. Untuk beberapa saat gue menahan napas saat jarinya tidak sengaja atau emang sengaja menyentuh bibir gue.

"Jangan kaku gini dong! Biasanya kalo ketemu gue juga nggak kayak gini," ucapnya sembari menyandarkan punggungnya ke bangku. Satu tangannya berasa di kepala bangku itu melewati tubuh gue.

"Biasa aja sih," jawab gue yang jelas berbohong.

"Jalan-jalan yuk!" Auriga menarik lengan gue dan menggiringnya menuju parkiran taman.

Dia menyalakan mesin motornya lalu menyuruh gue untuk duduk di belakangnya. Setelah mencari posisi duduk yang nyaman, gue menepuk bahu Auriga memberikan tanda kalau gue udah siap. Tapi Auriga hanya diam, tangannya yang memegang stang kini dilepas dan mengambil tangan gue. Kini tangan gue melingkar di perut datarnya itu. Ini gue deg-degan ya ampun.

"Biar nggak jatoh."

Kemudian Auriga menjalankan motornya dengan kecepatan normal. Hembusan angin malam yang dingin membuat gue semakin erat memeluk Auriga. Gue menyandarkan kepala ke bahunya dan gue sekarang bisa mencium aroma maskulin khas dari Auriga.

ΦΦΦ

Bukan hanya gue, tapi Auriga juga ngerasain hal yang sama ketika Mikko membentak Putu. Untung saja kafe di lantai atas ini sangat sepi, jadi tidak ada yang bisa melihat pertengkaran Mikko dengan Putu disini. Tadi saat gue dan Auriga hendak turun dari sini, langkah kami berdua terhenti saat melihat Mikko menarik tangan Putu dengan cepat menuju meja paling pojok.

"Lo kenapa sih muncul lagi di hadapan gue?!" bentak Mikko.

Putu menunduk, "Putu disuruh Om Martin sama Om Rangga buat nyusul Mikko kesini."

Om Rangga adalah Papa Mikko. Beliau temen baik Papa gue, bahkan sering juga selalu mengajak kerja sama antar perusahaannya dengan perusahaan Papa gue. Beliau baik, tapi kalau lagi emosi udah persis kayak Mikko. Gue dan Auriga memperhatikannya diam-diam dari pojok meja. Karena tempatnya sepi, suara pelan Putu aja bisa didenger.

"Lo boleh bilang kalo dulu gue suka sama lo. Tapi sekarang beda, liat muka lo aja gue udah muak!"

Gue dan Auriga saling tatap saat Mikko bilang begitu. Mikko dulu suka sama Putu? Widih. Putu tetap diam dan sekarang mulai berani menatap Mikko yang udah menakutkan wajahnya itu.

"Putu sayang Mikko..." lirih Putu kembali menunduk.

Mikko hanya mendengus lalu pergi meninggalkan Putu yang masih terpaku disana. Saat Mikko berjalan melewati meja gue, Auriga dengan cepat mencekal tangan Mikko hingga dirinya berbalik.

"Kalian bisa ngomong baik-baik," kata Auriga.

Gue berjalan menuju tempat Putu berdiri dan menggiringnya untuk ikut bergabung di meja gue bersama Mikko yang udah pasrah dengan Auriga.

"Ada apa?" tanya gue.

"Bukan urusan kalian," kemudian Mikko pergi dan meninggalkan kami bertiga di meja itu.

"Putu yang salah," Putu membuka suara.

"Ada masalah apa?" tanya Auriga.

Putu menunduk, tangannya bergerak gelisah. Saat itu juga Putu kembali menatap gue dengan air mata yang udah berjatuhan. Dia beranjak berdiri dan diikuti oleh gue dan Auriga.

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipi sebelah kanan gue. Rahang Putu mengeras, matanya memerah. Sedangkan gue berusaha untuk tidak membalas tamparan itu dengan bogem mentah ke wajahnya saat ini. Auriga langsung menarik gue mendekat dan menggenggam erat tangan gue yang lain.

"Lo nggak kasian sama Mikko?! Dia itu tulus sayang sama lo! Dan sekarang liat, lo malah pacaran sama Auriga yang dari dulu itu musuh lo!" sisi lain dari Putu keluar.

Gue merasakan genggaman tangan Auriga bertambah semakin erat, dan dia mulai menahan emosi karena ucapan Putu. Gue juga begitu.

"Kenapa lo tiba-tiba begini?! Apa masalah lo sama kita?!" suara dingin Auriga menambah aura panas disini.

"Masalahnya, lo udah buat Mikko sakit hati liat kalian pacaran. Mik–"

"Lo siapanya Mikko?" Auriga menyela kalimat Putu.

Putu diam. Gue melirik tangannya yang mengepal kuat. Dan saat Putu mengangkat tangannya untuk menampar Auriga, tiba-tiba Mikko datang menahannya. Rahangnya mengeras, tatapannya penuh emosi pada Putu.

"Cewek bermuka dua nggak pantes ada disini."

Game Over (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang