Part 44

1.8K 82 0
                                    

Azura

Nangis. Cuma itu yang bisa gue lakuin sekarang. Dada gue sesak kalau ingat kejadian kemarin. Gue nggak terima, gue nggak setuju pokoknya kalau Papa mutusin buat pindah ke Bali. Gue nggak siap jauh dari sahabat-sahabat gue, apalagi Auriga. Cowok yang selalu ada saat gue sedih maupun bahagia.

"Azura..."

Gue tau siapa yang memegang kedua bahu gue. Tapi gue nggak peduli. Gue cuma mau ngeluarin beban gue hanya dengan nangis. Sebenernya gue nggak tau Putu itu siapa, tapi dia selalu bilang ke gue kalau dia itu sahabat Mikko. Tapi Mikkonya nggak mau ngakuin, gimana dong?

"Putu ngerti perasaan kamu," dia ijut duduk di samping gue, "Sebenernya Om Martin itu cuma mau kamu bahagia."

"Bahagia? Gue nggak pernah tuh ngerasain itu semenjak Mama nggak ada."

Tangan Putu beralih mengusap tangan gue, "Tuhan pasti udah ngerencanain yang terbaik buat kamu. Om Martin nyari uang buat kamu biar kamu bisa hidup enak."

Gue berdecak, "Lo nggak tau apanyang gue rasain, Tu! Diem aja deh!"

Gue membuang wajah ke samping. Bahagia gimana? Papa itu jarang pulang, sekali pulang paling lama cuma tiga hari. Di otaknya cuma ada pekerjaan, duit, duit, duit. Itu mulu. Dan sekarang, Papa malah minta gue untuk pindah ke Bali biar bisa deket sama kantor Papa. Di sisi lain gue sedikit setuju, karena gue bisa liat kondisi Papa. Tapi gue masih nggak terima kalau harus jauh-jauhan sama Cherise dan Althea. Mereka berdua itu udah gue anggep sebagai saudara.

"Azura, ada Auriga."

Gue mengusap air mata lalu menoleh ke belakang. Disana ada Auriga yang tersenyum tipis berjalan menghampiri gue dan Putu. Gue kembali membuang pandangan ke jalanan kota di bawah. Udara dingin berhembus menerpa kulit, langit juga mulai mendung. Sepertinya musim hujan bakalan datang.

"Azura, Putu pergi dulu ya," gue menoleh ke arah Putu yang beranjak berdiri.

"Makasih."

Setelah itu Putu pergi dan digantikan oleh Auriga. Gue masih tetap memandang ke bawah dan menghembuskan napas perlahan menikmati udara dingin ini.

"Langitnya mendung banget lho. Nggak mau masuk aja ke kelas?" tanya Auriga.

Gue menggeleng lemah, "Mau mabal kesini aja."

"Gue temenin."

Suasana hening. Gue masih mencoba menahan tangis yang sempet tertunda tadi. Saat gue menoleh ke arah Auriga, dia sedang menunduk dengan tangan masing-masing berada di sebelah pahanya.

"Lo kenapa?"

"Jangan pergi..." lirihnya.

Mata gue semakin panas, bahkan bibir serasa mati rasa saat gue menggigitnya dengan keras. Gue menyentuh lengan Auriga dan mengelusnya pelan. Wajahnya menoleh ke arah gue dengan senyum simpulnya.

"Lo inget kan, kalo gue pernah bilang sama lo. Dimana ada lo, disitu pasti ada gue," katanya.

Gue mengangguk. Tangan Auriga bergerak menggenggam kedua tangan gue dengan lembut. Tatapan matanya seakan menulusuri isi di dalam mata gue. Seakan ada lem perekat, gue juga menatapnya intens tanpa berkedip sekalipun. Auriga candu bagi gue.

"Galexia Azura," ucapnya. Gue mengangkat sebelah alis menunggu kalimat lain yang akan muncul dari mulut Auriga. Gue menahan napas saat mulut Auriga kembali terbuka.

"Mulai sekarang, lo pemilik hati gue."

ΦΦΦ

Udah hampir sepuluh menit gue duduk di ruangan kepala sekolah ini. Papa terus membahas kepindahan gue dan sudah mengutus salah satu teman dekatnya untuk mengurus sekolah ini. Gue nggak bisa nolak keinginan Papa untuk pindah ke Bali, karena bagaimanapun juga, gue emang bener-bener ingin deket dengan Papa. Di usianya yang menginjak kepala empat, gue nggak mau Papa hidup di hari tua tanpa pengawasan dari Anaknya.

"Baiklah. Hati-hati ya, Pak. Semoga betah disana," ujar Pak Mario sembari menjabat tangan Papa.

Papa tersenyum, "Iya, Pak. Terima kasih."

Gue tersenyum kepada Pak Mario lalu mencium punggung tangannya. Pak Mario mengusap rambut gue dan berkata, "Bentar lagi nggak ada lagi yang namanya Azura cewek bandel di sekolah ini. Bakalan kangen nih Pak Mario."

Kangen apa seneng?

Gue hanya tersenyum menanggapinya. Setelah itu gue dan Papa keluar dari ruangan kepala sekolah. Diluar ruangan, Putu dan Mikko udah nungguin gue dengan kepala tertunduk. Jarak duduknya juga berjauhan dan nggak berani saling tatap satu sama lain.

"Kalian berdua akan sekolah di SMA Suryana nanti," kemudian Papa menoleh pada Mikko, "Kamu juga bakal kuliah disana."

Gue menunduk dalam dan menahan napas saat Papa mengatakan hal itu. Ini bener-bener diluar dugaan gue. Cherise, Althea, Leo, Tarendra, dan Auriga. Gue nggak bakal lupain kalian.

Game Over (Completed)Where stories live. Discover now