Part 45

1.8K 84 0
                                    

Auriga

Sebenernya gue sedikit ragu saat mengatakan perasaan gue ke Azura. Soalnya, dia itu mau pindah ke Bali. Apa gue bisa LDR an sama dia? Tapi gue usahain. Gue nggak salah pilih orang, Azura itu kuat. Karena gue udah terlanjur sayang sama dia, gue berjanji pada diri gue sendiri buat jagain Azura semampu gue. Azura, I never want to stop making memories with you.

"Ngelamun aja!" gue tersentak saat Tarendra menepuk punggung gue.

Tarendra bersama Leo tadi sempet ngambek gara-gara gue nggak jadi ke kantin. Tapi karena gue udah jelasin semuanya mulai dari kepindahan Azura sampai cerita dimana gue nembak dia, akhirnya mereka berdua bisa maafin gue. Jujur gue emang sedih banget dengernya, tapi apa boleh buat kalau Azura sendiri juga nggak nolak. Dia bahagia dengan caranya sendiri.

"Gue turut sedih juga sih," kata Leo sembari duduk di kursinya.

Gue hanya diem dan sibuk dengan pikiran gue. Kepala gue meneriaki penolakan kepergian Azura, tapi mulut gue seakan terkunci dan harus menelan kembali kalimat-kalimat itu. Apa keputusan gue buat jadiin Azura pacar itu terlalu cepet?

"Ga," gue melirik Tarendra yang duduk di depan gue, "Hidup itu ada dua kemungkinan. Belajar untuk bertahan atau pergi merelakan."

Pergi merelakan ya?

Gue memejamkan mata sejenak lalu menatap Tarendra, "Apa keputusan gue ini terlalu cepet?" gue menghembuskan napas berat, "Apa gue bisa jagain Azura kalau dia ada di Bali?"

"Jangan ngomong gitu. Buktiin dulu aja semampu lo. Jangan jadi pengecut, mengaku kalah sebelum perang."

Bener kata Leo. Mengaku kalah sebelum perang. Gue bakal lakuin apa aja agar Azura tetep berada di samping gue dan pastinya di dalam hati gue.

ΦΦΦ

Malam ini, gue udah memakai kemeja biru dongker tanpa dikancing dengan dalaman kaus hitam dan celana jeans hitam. Gue ada janji sama Azura di salah satu taman sebelah alun-alun. Sebenernya gue mau jemput dia, tapi Azura bilang dia bakal pergi sendiri. Gue nggak mau maksa, cuma bilangin dia harus hati-hati karena udah malem.

Setelah gue mendongkrak motor, gue berjalan menuju sebuah bangku putih di tengah taman dekat air mancur. Suasana malam di taman ini tampak begitu sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang duduk-duduk dengan anaknya atau pacarnya. Ada juga penjual nasi goreng dan es krim yang saling mengobrol. Mungkin karena malam ini bukan malam minggu, jadi mereka lebih memilih berada di rumah untuk berkutat dengan buku pelajaran. Untung tadi sore gue sempet belajar.

"Auriga."

Gue menoleh ke belakang. Tampak Azura memakai kaos lengan panjang berwarna putih dan celana jeans biru tua. Rambutnya dikuncir seperti biasa dan membawa sling bag hitam kesukaannya.

"Duduk, Ra," gue menggeser tubuh agar Azura bisa duduk di samping gue.

Wajahnya terlihat sendu namun tetap cantik. Bahkan gue nggak bisa ngalihin perhatian dari wajahnya. Gue berharap waktu berhenti untuk sementara buat ngasih gue durasi yang lebih lama ngelihatin wajah Azura.

"Nggak usah liatin gue kayak gitu," kata Azura tanpa melihat ke arah gue.

Gue tersenyum lalu menyelipkan poni panjang Azura ke belakang telinga, "Sayang kalo kelewatan."

Bisa gue lihat pipi Azura bersemu, tapi tetep bisa menahan untuk tidak tersenyum. Gemesin. Jadi pengen kantongin bawa pulang.

"Auriga," panggilnya sambil menoleh ke gue.

"Apa sayang?"

Azura memukul pelan bahu gue. Dia mengulum bibir untuk tidak tersenyum mendengar ucapan gue. Sedangkan gue hanya terkekeh geli sambil mencubit gemas hidung Azura.

"Apa lo siap gue tinggal ke Bali?" tanyanya berubah serius.

"Gue selalu siap buat apapun itu, asal lo seneng dengan keputusan yang lo buat. Gue bakal jagain lo dari jauh."

Azura menggenggam tangan gue, "Bahkan gue sendiri yang gak siap ninggalin lo. Ninggalin sahabat-sahabat gue dan kenangan disini bersama lo dan lainnya. Gue nggak siap."

Satu tetes air mata Azura berhasil keluar dari matanya. Gue mengusapnya pelan, "Kalo ada apa-apa, bilang ke gue. Siapapun yang berani nyakitin Azura gue, dia bakal mati."

"Jangan kejam-kejam," balasnya sambil terkekeh.

Gue tersenyum, "Sini, peluk."

Azura menyipitkan mata, "Wah, modus nih."

Gue nggak ngebales ucapan Azura. Gue membuka kedua tangan lebar-lebar bermaksud memberi isyarat untuk Azura meluk gue. Dia tersenyum miring dan kedua tangannya dilipat di atas perut.

"Dapet apa kalo gue mau meluk?" tanyanya.

Gue tersenyum nakal, lalu menurunkan kedua tangan gue. Satu tangan Azura gue ambil dan menghadapkan telapak tangannya ke arah mulut gue. Mata Azura membulat, dia sedikit gugup saat gue mengecup ujung telapak tangannya. Gue menempelkannya pada bibi Azura, lalu kembali mengecupnya.

"Dapet ini."

Game Over (Completed)Where stories live. Discover now