Part 48

2.3K 86 2
                                    

Azura

Ini memang penting.

Dari awal Mikko ngajakin gue sama Auriga ketemu dia, gue udah punya firasat kalau ada hal serius yang mau diomongin. Apalagi dengan kedatangan sahabat-sahabat gue dan Auriga, pasti ini bener-bener penting. Riyan juga. Wajahnya dari pertama datang, sampai duduk disini juga serius.

"Jadi, apa yang mau lo omongin?" Auriga bertanya.

Mikko berdehem kecil lalu menyeruput minumnya sebentar, "Langsung aja. Gue sama Riyan mau minta maaf."

Wow!

Serentak kami yang ada disana —kecuali Mikko dan Riyan— melotot kaget melihat mereka berdua. Riyan hanya menunduk, sedangkan Mikko membalas tatapan kami dengan senyum tipisnya. Kelihatan dari matanya, dia emang tulus.

"Gue udah capek musuhan terus sama kalian. Berantem mulu. Cuma gara-gara gue egois, semuanya jadi kayak gini," Mikko menoleh ke arah gue, "Terutama sama lo, Ra. Sorry karna gue udah maksa lo buat buka hati untuk gue. Jujur, gue emang masih suka sama lo. Tapi gue udah bilang, gue nggak mau gagal mengikhlaskan lo. Karena gue tau, ikhlas membuat semuanya jadi lebih baik."

Hening. Gue hanya tersenyum menanggapi ucapan Mikko. Sekarang, gue udah bener-bener maafin dia. Mungkin ini semua hampir terlambat, tapi kalau semuanya dilakukan dengan tulus, pasti semuanya jadi lebih mudah. Bener kata Mikko, karna ikhlas membuat semuanya jadi lebih baik. Gue percaya itu.

"Mik, Yan," Auriga memanggil mereka berdua, "Maafin gue. Bukan lo aja yang egois, gue juga. Gue tau maksud lo marah kayak gitu, biar persahabatan kita tetep utuh. Tapi gue juga lebih egois ternyata. Gue ngerasa lo yang lebih jahat dari gue, padahal niat lo baik. Cuma cara nyelesainnya aja yang gak tepat."

Tarendra berdehem kecil, "Maafin gue juga."

"Iya. Gue juga minta maaf. Pengen nangis nih," ucap Leo sambil mengusap-usap matanya. Ngerusak suasana.

Riyan dan Mikko terkekeh, "Kita berdua yang salah. Maafin kita ya?"

"Pasti itu!" jawab Auriga, Leo dan Tarendra bersamaan.

Gue dan sahabat-sahabat gue hanya tersenyum melihat kebersamaan mereka. Beban itu terasa menguap dengan sendirinya. Gue seneng liat mereka bahagia. Tapi disini, gue merasa gue adalah orang yang paling menyedihkan di antara mereka. Bukan maksud gue terlalu GR, tapi gue takut mereka sedih saat gue dan Mikko tinggal di Bali. Apalagi status gue masih pacar Auriga, jelas dia yang paling terpukul. Bahagia gue itu sederhana, tau disayangi oleh mereka.

"Ngapain lo nangis?"

Gue mengerjap saat Cherise menepuk bahu gue. Huh, gue nangis. Althea bergerak maju dan langsung memeluk gue, bersamaan dengan itu, Cherise juga memeluk gue dari belakang. Althea bergumam tidak jelas, tapi gue tau kalau dia lagi nangis.

"Apapun yang terjadi disana, lo harus kabarin gue!" ucap Althea dengan menekankan kata harus.

"Iya."

"Kalo lo kesana, ntar siapa yang nemenin gue clubbing? Tau sendiri kan kalo Althea gak mungkin ikut," kata Cherise.

Gue tersenyum sambil mengusap-usap kepala mereka. Wangi shampoo mereka bakal gue inget. Althea yang pertama melepas pelukan. Matanya merah dan berair, dia meringkuk di samping Tarendra sambil menutupi wajahnya.

"Cherise, gue nggak mau lo pergi ke tempat gituan lagi. Lo nggak sayang sama otak lo? Udah pinter, ngapain mabuk-mabuk?" Cherise melepas pelukan, "Kalo shooping, Althea pasti mau tuh."

Cherise nangis sambil meluk Leo. Modus nih anak. Gue hanya geleng-geleng kepala melihat mereka. Saat gue mengalihkan perhatian kepada Auriga, Mikko dan Riyan, mereka sedang tersenyum melihat gue.

Auriga membelai rambut gue, "I just want to see your smile more, laugh more, carry a little less of the world on your back, and more happines in your heart."

Dan detik itu juga pertahanan gue runtuh. Gue memeluk Auriga dan menangis terisak di dadanya. Auriga berkali-kali mengecup puncak kepala gue, berkali-kali juga bilang kalau dia bakal jagain gue dari jauh, katanya kalau bisa gue dipasang GPS biar dia tau gue berada.

Mikko berdehem, membuat dirinya menjadi pusat perhatian di meja kami. Wajahnya kembali serius, tangannya bergerak gelisah di atas meja. Gue mengusap air mata lalu menghadap ke arah Mikko sepenuhnya.

"Gue mau sedikit cerita," Mikko berdehem lagi, "Gue sama Putu pernah pacaran."

Hah?

Mikko diam sejenak, "Gue pacaran waktu masih kelas 11. Gue ketemu dia waktu gue pergi ke Bali sama bokap nyokap. Cuma PDKT satu minggu, gue ngerasa cocok sama dia. Tapi Putu, dia nggak pernah ngasih perhatian ke gue."

"Sampai waktu gue mau balik kesini, gue udah kecewa sama dia. Dan saat di bandara, Putu bilang kalo dia sayang sama gue. Bagi gue, semuanya udah terlambat. Karna gue tau, Putu main di belakang gue."

"Maksud lo dia se..." Auriga mencoba membenarkan tapi tidak berani melanjutkan kalimatnya.

"Iya. Dan karena itu, gue benci sama dia. Gue udah maafin, tapi rasa kecewa itu masih ada," Mikko mengambil napas lalu menghembuskannya perlahan, "Sekarang gue tau. Cinta itu anugerah, kalau di tempatkan di tempat yang tepat."

Mikko menoleh pada Auriga, "Dan soal permainan itu, Ga. Permainan terakhir masih gue lanjutin."

Mikko menggigit bibir bawahnya, "Jagain Azura semampu lo."

Game Over (Completed)Where stories live. Discover now