Part 24

1.9K 82 0
                                    

Azura

Auriga mengecup puncak kepala gue sedikit lama dan membisikkan sesuatu yang berhasil bikin gue mematung di tempat. Kalimat yang berhasil membuat gue tenang. Kalimat yang behasil membuat jantung gue berdetak cukup keras dan nggak karuan.

"I'm always with you."

Setelah membisikkan kalimat itu, Auriga kembali menggandeng gue dan menuntun gue untuk terus berjalan. Dari kejauhan gue bisa melihat cahaya dari lampu bohlam yang terlihat redup. Semakin gue dan Auriga mendekat, sayup-sayup mendengar suara rintihan yang nggak jelas.

"Ga, itu suara apa?" tanya gue.

"Kayaknya..."

Auriga menggantung kalimatnya, gue semakin mengernyit saat Auriga menarik tangan gue cukup keras dan jalannya semakin cepat. Saat sampai di pusat cahaya itu, gue dan Auriga terkejut menemukan Papa Auriga yang sedang terikat di kursi dengan mulut dilakban.

"Papa!"

Auriga melepas genggaman tangan gue dan langsung menghampiri Papanya. Dia melepas lakban dengan hati-hati dan gue ikut membantu melepas ikatan tali-tali yang berada di tubuh Papa Auriga.

"Ga..."

Papa Auriga menyebut namanya dengan napas tersengal. Wajahnya merah dan ada luka di sudut bibirnya. Jas dan rambutnya juga berantakan. Penampilannya kacau.

"Papa nggak papa? Ini luka kena apa? Siapa yang berani ngelukain hal ini ke Papa?" tanya Auriga dengan wajah cemas.

Auriga berjongkok dan menggenggam tangan Papanya. Matanya berkaca-kaca seperti ingin menangis dan ada sorot kemarahan di dalamnya. Gue hanya bisa menyaksikan mereka dalam diam.

"O-oh," muncul suara tepukan tangan, "Ada pahlawan kesiangan nih ternyata."

Kami bertiga serentak menoleh mencari asal suara tersebut. Suara familier yang membuat gue merinding dan gue lirik Auriga yang bangkit berdiri. Rahangnya mengeras dan kedua tangannya mengepal. Sedangkan Papanya tersenyum simpul ke arah gue dan gue membalasnya dengan hangat.

"PENGECUT!"

Auriga berteriak dan menyebabkan gema di seluruh ruangan. Gue menggigit bibir bawah saat wajah Mikko dan Riyan muncul. Mereka berdua menyeringai dengan wajah angkuhnya. Cih, jelek banget lo kalo kayak gitu!

"Kayaknya bukan pahlawan kesiangan, tapi pahlawan kemalaman," kata Riyan sambil ketawa.

Garing!

Auriga maju selangkah dan langsung menarik kerah baju Mikko. Gue hanya bisa menenangkan Papa Auriga yang tegang melihat kejadian itu. Di sisi lain, gue juga pengen nonjok wajah sialan Mikko dan Riyan itu.

"Azura, Auriga nggak papa kan?" gue menunduk menatap Papa Auriga yang wajahnya udah cemas banget.

"Iya, Om. Auriga kan jagoan," balas gue sambil tersenyum lebar.

Papa Auriga mengangguk dan kembali melihat pertarungan dua lawan satu itu. Karena gue juga gatel, akhirnya gue memutuskan untuk ikut membantu Auriga melawan dua kunyuk itu.

"Eh, nak Azura mau kemana?" Papa Auriga menarik tangan gue. Papa sama Anak sama-sama suka narik tangan.

"Cuma mau bantuin Riga, Om. Kasian dia," tanpa menunggu jawaban dari Papa Auriga, gue segera berlari dan langsung memberi bogem mentah pada Riyan.

Riyan yang tidak siap langsung jatuh ke tumpukan kayu tak terpakai di belakangnya. Gue melirik ke Auriga dan melemparkan senyuman. Senyuman yang memiliki arti 'Gue juga ada disini. Buat lo.'

Saat Riyan kembali bangkit, gue segera melayangkan lagi satu tinju ke wajahnya. Kemudian dia membalas dengan memelintir tangan gue dan mendorongnya sampai gue terjerembab. Gue melirik Auriga yang masih berusaha mendorong Mikko dan sesekali jatuh. Saat gue kembali menatap Riyan, dia mengatur napasnya lalu menarik gue untuk bangkit kembali.

"Pengecut lo semua!" kata Auriga dengan napas tersengal.

"Jangan bawa-bawa orang tua gue!" katanya lagi.

Gue menutup adu jotos bersama Riyan dengan menonjoknya di bagian rahang kiri. Gue menatap Auriga yang masih mengunci Mikko dengan satu kaki di atas perut Mikko. Sedangkan Mikko hanya meringis kesakitan sambil memegangi hidungnya yang berdarah.

"Riga."

Kami semua serempak menoleh pada Papa Auriga yang masih terduduk di kursi. Wajahnya penuh kecemasan, seperti ingin menangis. Gue menghampirinya dan menenangkan kepada Papa Auriga kalau semuanya baik-baik aja.

"Kali ini, lo menang," Mikko menyentak kaki Auriga dan bangkit dibantu oleh Riyan.

Mereka berdua berjalan tertatih-tatih keluar gudang. Tinggal kami bertiga disini dan kesunyian yang menyelimuti. Hanya ada suara jangkrik dan nyamuk yang mendominasi.

"Kamu nggak papa kan?" tanya Papa Auriga seraya bangkit dari duduknya.

Auriga tersenyum lalu menghampiri Papanya. Dia memeluknya dengan erat, sama seperti tadi waktu meluk gue. Papanya melepas pelukan dan menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya.

"Riga sayang Papa."

Game Over (Completed)Where stories live. Discover now