Part 22

1.8K 85 0
                                    

Azura

Gue menggigit bibir bawah saat Auriga memeluk gue. Gue nggak tau kenapa Auriga tiba-tiba begini, dan gue tau kalau pikirinnya sedang kalut. Kalau sadar nggak mungkin meluk gue, pasti udah ditonjok duluan.

"Jangan pergi."

Deg!

Apa-apaan ini?! Gue membulatkan mata saat Auriga mengatakannya. Apapun yang terjadi dengan Auriga, tolong sekarang jangan bikin gue jantungan. Emang benar, Auriga nggak baik buat kesehatan. Itu.

"Ga?" gue mencoba melepas pelukan Auriga pelan-pelan.

Cowok itu menurut. Dia menunduk dalam dan langsung jongkok di hadapan gue. Gue juga ikut berjongkok untuk menyuruh Auriga berdiri lagi. Kali ini gue tau keadaan, gue harus berbuat baik ke Auriga meskipun dia musuh gue.

"Lo kenapa?" ini jadi pertanyaan favorit gue selain 'Lo kemana?'.

"Ikut gue, Ra," dia menarik tangan gue untuk naik ke atas motornya.

Dengan cepat gue menarik kembali tangan gue dan langsung berhenti mendadak. Auriga menoleh dengan dahi berkerut.

"Jelasin dulu dong!" pintah gue.

Auriga berbalik dan kembali menarik gue untuk naik ke atas motornya. Duh, nih anak! Terpaksa gue naik ke motornya setelah Auriga memberi lirikan tajam ke gue.

"Elo tuh ya, udah gagalin rencana gue buat begadang semaleman! Ini gue udah beli banyak cemilan sama kopi susu," ucap gue ketika Auriga sudah menjalankan motornya.

"Aarrgghh! Gagal nih! Lo kenapa sih nggak ajak yang lain aja?! Ini gue udah rela jalan jauh-jauh ke minimarket buat beli ini semua, eh elo malah seenak jidat gagalin rencana gue begadang!" gue terus mengomel sambil memukul-mukul bahu Auriga.

Auriga diem. Gue juga.

Selama sepuluh menit perjalanan, gue akhirnya sampai di depan restoran dengan dekorasi klasik. Gue turun dari motor dan Auriga juga menyusulnya. Dia berjalan duluan ke depan sambil sesekali menoleh kanan kiri.

"Ga, kita nga–"

"Berisik!"

Gue mengerucutkan bibir lalu mengikuti jalan Auriga dengan cepat. Pertama, dia udah gagalin rencana gue buat begadang. Kedua, dia udah maksa gue buat ikut dia. Ketiga, dia udah bentak gue di tempat umum. Lalu, sebentar lagi apa?

"Ra, lo tunggu sini," ucapnya.

Gue hanya diam dan duduk di salah satu kursi restoran disini. Sedangkan Auriga menjelajahi setiap sudut restoran dan sesekali menelpon seseorang. Gue dikacangin.

"Tenang aja, Yan. Dia nggak bakal nemuin bokapnya."

Gue menoleh ke sumber suara. Dua cowok itu baru saja memasuki restoran. Dengan cepat gue langsung berjongkok di bawah meja agar mereka nggak ngelihat gue.

"Gue yakin kita bakal dapet 2 milyarnya," ucap cowok di sebelahnya.

Kemudian mereka berdua duduk di salah satu bangku dan melayangkan tatapan sinis pada Auriga yang masih berjalan menelusuri restoran. Gue segera mengambil ponsel di dalam saku untuk mengirim pesan kepada Auriga. Untung gue punya ID Linennya.

Sial. Gue nggak bawa HP.

Saat tatapan Auriga mengarah ke tempat duduk gue, dia mengernyit. Gue tau dia bingung dengan keberadaan gue. Akhirnya gue memutuskan untuk setengah berdiri dan melambaikan tangan pada Auriga. Kemudian Auriga mengangguk lalu menghampiri gue secepat kilat.

"Sini lo!" gue langsung menarik Auriga untuk ikut berjongkok di bawah meja.

"Ngapain sih?! Malu nih diliat orang," protes Auriga sambil melirik sekitar.

Gue nggak peduli dengan posisi seperti ini, karena gue udah terlanjur penasaran dengan apa yang dilakukan oleh kedua cowok tadi. Gue sedikit mendongak untuk melihat mereka berdua yang masih berbincang. Jarak mejanya dengan meja gue lumayan deket, tapi posisinya membelakangi tempat gue. Jadi pas Auriga kesini, mereka nggak liat.

"Apa sih?!" tanya Auriga lalu menarik tangan gue. Lagi.

"Diem! Gue dengerin mereka lagi ngobrol sesuatu."

Auriga mengikuti arah pandang gue dan menyembulkan kepalanya di atas meja. Untungnya, di posisi ini gue masih bisa denger apa yang mereka obrolin.

"Bukannya nguping itu nggak boleh ya?" gue menoleh cepat ke Auriga, "Emang kita lagi dengerin obrolan siapa sih?"

Sialan lo, Ga!

Gue merapatkan bibir dan mengepalkan kedua tangan untuk bersiap meninju wajah gantengnya Auriga. Huh, tapi gue masih inget tempat. Gue membuang napas kesal lalu menonyor kepala Auriga sampai terbentuk meja.

"Gila lo?!" pekiknya sambil mengusap kepalanya.

"Noh, liat!" gue membalikkan kepala Auriga untuk melihat Mikko dan Riyan yang masih sibuk ngobrol.

Auriga terdiam. Wajahnya berubah datar. Dan tatapannya penuh kebencian. Gue hanya mampu menelan ludah saat melihat Auriga dengan wajah seremnya. Bener-bener serem.

"Kalo mereka yang ngobrol, gue rela dengerin sampe mulutnya berbusa."

Game Over (Completed)Where stories live. Discover now